Rabu, 10 Desember 2008

Kreatif Pangkal Sukses

Oleh : Prih Sarnianto

Senin, 24 November 2008
Di era kelimpahan kapital finansial ini, kreativitas menjadi aset paling langka. Inilah kisah para lelaki dan perempuan dalam mewujudkan ide menjadi sukses, di ranah bisnis new economy maupun old economy.

“Inilah Rupert Murdoch masa depan,” ujar Jeff Jarvis seraya menampilkan gambar seorang pemuda berpakaian serampangan dalam sebuah presentasi di hadapan sejumlah eksekutif surat kabar. “Robert Kevin Rose.”

Jarvis lalu menerangkan betapa pemuda selengekan yang lebih suka dipanggil dengan nama tengahnya itu layak diwaspadai. “Kevin sedang membangun kerajaan media dengan cara yang sama sekali baru.” Konsultan media dan penulis What Would Google Do? ini yakin, anak muda tersebut melakukan dengan Internet apa yang dilakukan Ted Turner dengan televisi kabel dan William Randolph Hearst dengan koran. “He’s the media mogul of the future.”

Kita lihat saja. Selain sukses dengan Digg, situs berita/teknologi/cerita-remeh-temeh yang memikat 30 juta pengunjung per bulan, Rose juga memiliki jaringan teve (Revision3), platform komunikasi (Pownce), dan barisan besar penggemar yang fanatik. Semua bisnis itu, tentu saja, berbasis Internet alias perusahaan dotcom. Hebatnya lagi, digg.com, revision3.com ataupun pownce.com itu semua dia dirikan sendiri.

Tak salah kalau khalayak menjuluki Rose, anak muda tampang gaul itu, “Orang Paling Beken di Internet”. Kaum belia yang melek teknologi memujanya bak bintang rock. Media massa memujinya sebagai bintang muda paling terang di langit bisnis dotcom. Business Week bahkan telah menampilkannya sebagai cover story pada 2006.

Ketika memulai Digg, Rose betul-betul mempertaruhkan masa depannya. Pada Oktober 2004 itu, dia membenamkan US$ 1.000 — hampir 10% dari seluruh tabungan, yang seharusnya buat bayar uang muka rumah — untuk mewujudkan idenya. Buntutnya, sang pacar yang marah besar memutuskan hubungan sehingga dia bersumpah, “apa pun jadinya Digg, tak akan mendahulukan bisnis lagi.” Namun, kepalang tanggung, pemuda keras kepala itu menyewa 10 pengembang freelance, masing-masing US$ 12/jam, untuk membuatkan mock-up halaman Web.

Untuk sewa server, Rose sudah mendapatkan deal yang bagus — cuma US$ 99/bulan. Yang masih kurang tinggal nama domain yang sesuai dengan idenya: situs yang menyediakan tempat untuk posting cerita (atau berita), yang bisa “digali” oleh anggota komunitasnya.

Rose mencoba dig.com. “Sial betul, nama itu sudah jadi milik Disney.” Dia lalu coba beli digdig.com senilai US$ 500, tetapi pemiliknya nggak mau jual. Akhirnya, dia mendapat itu tadi, domain digg.com, dengan merelakan tabungannya berkurang lagi US$ 1.200. Lalu, pada 5 Desember 2004, diluncurkanlah situs itu secara resmi. Pada pukul 16.00 hari peluncuran tersebut, 13 ribu pengguna mendaftarkan diri — 8 kali lipat hari-hari sebelumnya.

Pada 2006, atau hanya dalam tempo dua tahun, dengan diluncurkannya Digg versi 3.0 yang dilengkapi suguhan berbau politik, gosip, bisnis dan video — tak hanya tech news seperti sebelumnya — situs newsgathering tersebut, menurut Alexa.com, telah berkibar di posisi ke-24 dalam jajaran Situs Web Terpopuler Amerika, cuma sedikit di bawah situs The New York Time (peringkat ke-19) dan mengalahkan situs Fox News (peringkat ke-62). Setiap hari, lebih dari 1 juta orang berselancar ke digg.com untuk membaca, mendaftarkan diri, atau “menggali” sekitar 4.500 berita yang dikirim oleh komunitas yang terdaftar.

Laiknya situs Web 2.0, orang-orang bukan hanya mendaftar, melainkan juga membuat profil online. Para “digger” ini boleh meng-upload berbagai link ke berita dan blog yang ingin mereka bagi dari portal berita lain, seperti Yahoo! News atau situs media mainstream semacam milik The Washington Post. Para pengguna boleh mengklik tombol “digg it” kalau ingin mendukung sebuah konten atau, sebaliknya, mengklik tombol “bury”. Konten yang memenangi paling banyak “digg” akan tampil di halaman terdepan.

Dari pengguna yang melakukan “digg” secara sukarela itu, 94% adalah laki-laki, lebih dari separuh penggemar teknologi informasi (TI) berusia 20-an sampai 30-an tahun dengan pendapatan minimal US$ 75 ribu/tahun. Menggenggam pengguna dari lapisan demografi yang paling menggiurkan begini, digg.com segera saja kebanjiran tawaran iklan.

Rose memercayakan perolehan iklan kepada Federated Media, perusahaan yang didirikan veteran Silicon Valley John Batelle untuk “menjodohkan” kalangan situs Web dengan para pengiklan. Namun, Rose hanya mau memberikan kapling kecil di bagian atas halaman Web-nya untuk sesuatu yang bisa mengurangi kenyamanan para digger. Dia tak mau peningkatan pengguna terdaftarnya — yang berlipat dua setiap tiga bulan — terganggu. Dengan hanya 17 karyawan, digg.com cuma memerlukan US$ 3 juta/tahun untuk break-even.

Strategi fokus membangun komunitas ini telah terbukti sukses mengibarkan Google Inc. sehingga diadopsi banyak pemain Web 2.0. “Kami sudah punya arah jelas menuju perusahaan yang menangguk laba, dan kami tak kekurangan dana,” ujar Rose kepada Business Week pada pertengahan 2006. “Untuk sekarang, kami nggak perlu khawatir (tentang pendapatan iklan), sejauh bisa terus mencapai target (peningkatan pengguna).”

Kendati demikian, sukses mengundang tantangan tersendiri. Selain tawaran akuisisi yang bertubi-tubi, termasuk senilai US$ 40 juta dari Yahoo Inc., banyak pula peniru. Dua minggu sebelum pelepasan Digg versi 3, AOL meluncurkan situs serupa. Dikomandani Jason Calacanis, pemilik Weblogs yang sebelumnya pernah menawarkan investasi kepada Rose dengan opsi membeli Digg seharga US$ 5 juta — dan langsung ditolak karena mengharuskan Rose melepaskan kendali manajemen — pada 18 Juli 2006 situs yang mengusung nama Netscape itu coba membajak Top 50 kontributor Digg. Hebatnya, tak satu pun digger besar itu menanggapi iming-iming US$ 1.000/bulan dan terus saja mengirim konten ke digg.com yang tak memberi imbalan finansial satu sen pun.

Kegagalan raksasa AOL menggilas Digg dengan kekuatan uang itu membuat kalangan bisnis old media kian khawatir menghadapi kreativitas para pemain muda. Apalagi, entry barrier ke industri media juga telah demikian rendah. Dengan sebuah laptop dan langganan Internet US$ 50/bulan, seorang anak muda yang kreatif sudah bisa mengibarkan diri jadi kaisar media masa depan.

Kalau biaya untuk masuk ke bisnis dotcom masih seperti pada masa-masa awal, Rose juga belum tentu mampu berkibar cepat. Maklum, kelahiran 21 Fabruari 1977 ini bukan berasal dari keluarga kaya. Ketertarikannya kepada hal-hal yang berbau komputer dimulai pada usia 8 tahun, ketika dibelikan oleh ayahnya sebuah PC Gateway 80386 SX 16. Pada 1985 itu, Kevin kecil yang lahir di California dan pernah menetap di Oregon telah tinggal di Las Vegas, Nevada. Tak mengherankan, pada 1992 dia lalu masuk ke Vo-Tech High School untuk belajar komputer dan animasi di kota judi tersebut.

Selulus sekolah menengah, Kevin Rose muda kuliah di University of Nevada, masih di Las Vegas, mengambil spesialisasi computer science. Akan tetapi, terpesona oleh gemerlap bisnis di industri teknologi — yang pada 1990-an sedang boom — dia lalu drop-out pada 1998.

Awalnya, Rose bekerja di Department of Energy, dan ditempatkan sebagai penasihat teknologi di Nevada Test Site. Setelah itu, dia bergabung dengan beberapa bisnis dotcom pemula melalui CMGI Inc. (sekarang telah menjadi ModusLink Global Solution, perusahaan teknologi dan modal ventura yang bermarkas di Waltham, Massachusetts).

Meletusnya gelembung industri dotcom mengantarkan Rose menjadi asisten teknis produksi pada acara The Screen Saver. Maka, pemuda slengekan itu pun mulai muncul di teve, terutama di segmen “Dark Tip” dan di acara Unscrewed with Martin Sargent sebagai “Dark Tipper” — pemberi tip teknologi berupa info tentang aktivitas yang terkait dengan perkembangan industri komputer yang tak banyak diketahui buat khalayak luas. Selanjutnya, dia sering menjadi host pada acara reguler The Screen Saver. Dan, setelah Leo Laporte hengkang dari TechTV pada 31 Maret 2004, Rose menjadi co-host.

Pada 25 Maret 2004, Comcast mengumumkan merger antara G4, kanal gaming milik raksasa industri TV kabel itu, dengan TechTV (inilah yang membuat Laporte hengkang). Rose memilih tetap dengan TechTV, bahkan pada Mei 2004 ikut boyong ke kantor G4 di Los Angeles setelah markas TechTV di San Francisco ditutup. Dia tetap memandu The Screen Saver yang kemudian berubah jadi Attact the Show!, sebuah variety show.

Baru, setahun kemudian, Rose mengumumkan pengunduran diri melalui blognya. Pada Mei 2005 itu, balik ke San Francisco, dia mulai fokus secara penuh memproduksi podcast dan videocast melalui Revision3 yang didirikannya bersama teman-teman di TechTV, Jay Adelson dan David Prager, sebulan sebelumnya.

Awalnya, Rose menjalankan kegiatan yang pada 24 Juli 2003 menghasilkan karya pertama bertajuk thebroken itu sambil tetap kerja di G4TechTV. Hebatnya, thebroken yang menampilkan Dan Huard (juga dari The Screen Saver) sebagai co-host yang dengan santai membeberkan aktivitas yang menyerempet hal-hal ilegal itu — password cracking, rekayasa sosial, dan sebangsanya — pada tahun pertama saja mampu menarik lebih dari 2 juta pengunduh. Sukses inilah yang memantapkan hati Rose untuk meluncurkan Revision3.

Bersama Systm, videocast kedua yang episode pertamanya mengajarkan bagaimana menyulap kamera video yang tak dienkripsi jadi kamera yang justru dimanfaatkan pihak lain buat memata-matai si empunya, thebroken ditayangkan sebagai dua show pertama Revision3. Belakangan, 1 Juli 2005, bersama Alex Albrecht, mantan co-host acara The Screen Saver, Rose meluncurkan podcast mingguan berisi ringkasan berita top yang dikirim para Diggers. Lahirlah Diggnation.

Seperti juga berita dan cerita dalam Digg, nilai berita Diggnation layak dipertanyakan. Ambil contoh episode Diggnation yang ditayangkan beberapa waktu lalu, tentang brothel paling inovatif di dunia, add-on terbaik untuk browser Firefox, dan cerita tentang seorang penggila teknologi (geek) dengan istri yang suka memaksanya merapikan koleksi DVD-nya. “My friends,” katanya menirukan gaya kampanye John McCain ketika menyimpulkan cerita terakhir, “perkawinan hanya akan membawa kita pada hal-hal yang nggak enak seperti ini…”

Pendek kata, Diggnation lebih mirip parodi majalah remaja ketimbang berita. Meski demikian, dipandu dengan gaya urakan tapi santai — Rose dan Albrecht bahkan pernah menenggak bir sampai mabuk ketika memandu — show ini meledak dengan rata-rata 250 ribu pengunduh per episode.

Dengan jumlah pemirsa yang tak kalah ketimbang acara kabel TV biasa, Diggnation mampu mendatangkan fulus melalui sponsorship dan on-air endorsement. Malam itu, Microsoft jadi sponsor utama sehingga, di awal acara, Rose mengumumkan akan membagikan Zune, media player keluaran raksasa TI asal Seattle itu, kepada audiens yang beruntung.

Lebih dari itu, sukses Diggnation-lah yang menjadikan Rose seorang bintang rock. Di setiap penampilan live-nya, biasanya untuk tayangan Revision3, ribuan fans mengelu-elukannya.

Rose dikerubungi banyak cewek? Jelas, dan hal ini dimanfaatkannya buat gonta-gati pacar. Namun, mayoritas fans bintang dunia maya ini justru para cowok, terutama kalangan mahasiswa penggila TI, yang tak kalah histeris meneriakkan namanya — “Keeevviin.., Keeeevviiiin…!”

Sukses dengan Revision3, Rose meluncurkan Pownce. Berkat kharisma bintang sang pendiri, situs yang dirancang apik ini segera menarik lebih dari 150 ribu kawula muda untuk menggunakannya sebagai media berbagi musik, video dan link.

Lagi-lagi, Pownce yang gabungan antara jejaring sosial dan micro-blogging itu kebanjiran penggemar. Ketika diluncurkan dalam bentuk beta, penggemar hanya bisa bergabung kalau ada “undangan.” Undangan tersebut demikian diminati sehingga laku dijajakan melalui situs lelang, termasuk eBay!

Dengan suksesnya Pownce, lengkap sudah kerajaan media milik Rose — ada koran online, jaringan teve online, platform komunikasi online. Jangan heran, pada November 2008, Rose terpilih lagi jadi cover story majalah bisnis Inc.

Dorongan kuat apa yang membuat seorang Kevin Rose, yang waktu kecil aktif di Boy Scout of America itu, sampai nekat mempertaruhkan tabungan yang tak seberapa di lahan bisnis hingga ditinggal oleh Sarah Lane, seorang gadis yang menurut para sobatnya adalah “the love of his life”? Ayah Kevin yang akuntan dan ibunya yang hanya ibu rumah tangga biasa tak pernah mengajarinya berwirausaha.

Ceritanya berawal dari pertemuan Rose, sebagai pewawancara The Screen Saver, dengan Steve Wozniak, salah satu pendiri Apple Computer yang sering jadi tamu di show tentang TI itu. Sewaktu suatu hari menemani Wozniak makan siang, dia banyak tanya tentang tempo doeloe, akhir 1970-an ketika Woz menciptakan tonggak sejarah.

Rose merasa jealous dengan posisi luar biasa Woz dalam sejarah Silicon Valley. “Inilah orang yang betul-betul melakukan sesuatu,” pikirnya, “sementara aku cuma semacam visual stenographer, semacam pencatat sejarah…”

Malamnya, ketika pulang ke rumahnya di Santa Monica, Rose langsung duduk di depan komputer. Seperti malam-malam sebelumnya, dia mengeksplorasi sudut-sudut terjauh dunia maya, mengais gosip tersembunyi, menggali berita yang tak mungkin dilirik para redaktur umumnya. Dan itu semua tak gampang, karena tak ada titik petunjuknya.

Rose berpikir keras. Lalu, tiba-tiba melintas ilham di benaknya. Oh my God. I could do this SO MUCH BETTER… Maka, itu tadi, lahirlah Digg.

Buat mengelola bisnis yang masih bayi ini, Rose minta tolong Jay Adelson. Yakin dengan model bisnis Digg, pendiri perusahaan pusat data Equinix yang jadi sobat dekat Rose semenjak diwawancara di The Screen Saver pada 2003 ini merelakan waktunya untuk jadi CEO perusahaan pemula itu, mondar-mandir dari New York (tempat ketiga anaknya tinggal) dan San Francisco. Adelson melihat Rose sebagai dirinya sewaktu muda.

Pada 2004 itu, pasca-Dotcom Bubble, lanskap industri telah berubah. Para pemodal ventura sudah tak sesakti sebelumnya. Di AS saja, jumlah mereka telah meroket jadi 866 dari hanya 300, dua dasawarsa sebelumnya. Sumber dana baru juga bermunculan, termasuk angel investor dan mitra strategis. Di sisi lain, jumlah perusahaan pemula justru menciut walau valuasi deal melejit hampir 100% dibanding pada 2003. Hal lain yang berbeda adalah, untuk masuk ke bisnis dotcom tak diperlukan lagi modal gede.

Memasuki musim semi 2005, Adelson sering ditelepon para pemodal ventura, dan tak dia tanggapi. Sang CEO ingin Digg lebih berkibar dulu seraya menunggu sampai betul-betul perlu dana cukup besar. Sementara, dia hanya mau menerima dana kecil dari teman dekat, seperti Chris Hoar. Pendiri Textamerica, situs yang memudahkan posting foto dari telepon seluler ke blog, ini langsung menyerahkan cek US$ 50 ribu ketika pada akhir 2004 bertemu Rose — dan dananya baru dicairkan pada Februari 2005.

Ketika Rose perlu beli server, Adelson juga hanya mau menerima beberapa ratus ribu dolar dari kalangan angel investor, termasuk Marc Andreessen (pendiri Netscape) dan Reid Hoffman (CEO situs jejaring sosial LinkedIn.com). “Kami tak mau jadi tiket orang lain buat masuk ke pasar,” ujar Adelson.

Pertemuan dengan pemodal ventura baru dilakukan pada Agustus 2005, di San Mateo. Di situ, Rose dan Adelson hanya minta dana US$ 1 juta atau US$ 2 juta — recehan bagi kalangan pemodal ventura. Anehnya, David Sze dari Greylock Partners setuju saja memberikan dana US$ 2,5 juta yang masih dibagi pula dengan investor lain, Omidyar Network milik pendiri eBay Pierre Omidyar. Dengan begitu, Rose yang menguasai 30%-40% saham Digg plus porsi yang lebih besar di Revision3 dan Pownce masih pemilik mayoritas.

Di era dana yang melimpah ini, ide dan kreativitas memang telah jadi modal paling berharga. Bahkan di industri yang mutlak memerlukan dukungan sebuah korporasi raksasa pun, aset yang langka itu tetap jadi penentu keberhasilan bisnis. Simak saja kisah sukses Seth MacFarlane.

Berasal dari keluarga guru sekolah menengah, MacFarlane membuat film berjudul The Life of Larry ketika menyelesaikan pendidikannya di bidang animasi pada Rhode Island School of Design. Tanpa sepengetahuannya, dosen pembimbingnya di RISD mengirimkan film kartun tersebut ke Hanna-Barbera sehingga dia direkrut oleh studio yang terkenal dengan serial Tom & Jerry itu.

Di Hanna-Barbera, MacFarlane muda menjadi animator dan penulis untuk serial Cartoon Cartoons milik Cartoon Network, dan membantu produksi Johnny Bravo, Cow and Chicken dan Dexter’s Laboratory. Selain itu, dia juga menciptakan dan menulis kartun pendek, Zoomates, buat Oh Yeah! Cartoon yang bernaung di bawah bendera Frederator Studio.

Pada 1996, MacFarlane membuat sekuel The Life of Larry berjudul Larry and Steve, yang menampilkan karakter setengah baya bernama Larry dan anjing pintarnya (yang dapat bicara), Steve. Ketika film pendek ini ditampilkan oleh Cartoon Network sebagai bagian dari World Premier Toons, para petinggi Fox tertarik. Mereka segera mengontrak kelahiran Kent, Connecticut, pada 26 Oktober 1973, itu untuk menciptakan serial berdasarkan karakter dalam The Life of Larry dan Larry and Steve. Hasilnya: Family Guy, yang mengudara untuk kali pertama pada 31 Januari 1999.

Maka, pada usianya yang baru 24 tahun, jadilah MacFarlane produser eksekutif teve termuda. “Sekitar 6 bulan saya begadang — tak punya kehidupan. Kerja saya cuma nggambar seperti orang gila di dapur buat menyelesaikan pilot project itu,” tuturnya bertahun-tahun kemudian ketika diwawancara The New York Time.

Akan tetapi, kerja keras tersebut memberikan hasil yang memadai. Dengan penjualan DVD yang tinggi dan dukungan fans yang loyal, Family Guy yang lalu melampaui popularitas The Simpsons itu menggelembung jadi sebuah bisnis senilai US$ 1 miliar. Bagian yang didapat MacFarlane tentu cukup besar. Maklum, selain sebagai pencipta, artis serba bisa ini juga jadi pengisi suara beberapa karakter utama — Peter Griffin, Stewie Griffin, Brian Griffin, dan Glenn Quagmire serta Tom Tucker dan anaknya, Jake, plus beberapa karakter tambahan. Apalagi, kemudian dia lalu menciptakan film lain, American Dad dan The Cleveland Show, drama musikal Family Guy: Live in Vegas (bersama komposer Walter Murphy), serta permainan video Family Guy (pada 2006).

Rahasia sukses Family Guy? Kemampuan MacFarlane memarodikan sesuatu yang telah dikenal baik khalayak luas, termasuk film Star Wars dan Star Trek. Salah satu episode baru yang mengesankan adalah cerita tentang Brian dan Stewie yang terlempar ke Jerman era Perang Dunia II. Pada 1939 itu, kedua karakter ini mencuri seragam SS, pasukan elite yang loyal kepada Adolf Hitler. Ketika mereka kembali ke AS masa kini, dari kantong salah satu seragam militer pendukung Nazi tadi ditemukan… pin McCain/Palin.

MacFarlane yang pendukung Partai Demokrat memang supraliberal. Pandangan politik ini tecermin kuat pada Family Guy sehingga serial tersebut sempat dua kali dihentikan penayangannya oleh Fox yang terkenal konservatif. Hanya DVD-nya yang laris bak kacang goreng dan dukungan fanatik para fans yang membuat Fox menayangkannya kembali. Perusahaan yang tergabung dalam konglomerasi media Murdoch itu bahkan “meminta maaf” dengan memberikan kontrak US$ 100 juta buat pemenang dua Emmy Award dan beberapa penghargaan lain yang masih betah melajang itu.

“Salah satu dampak positif Family Guy sering dihentikan penayangannya adalah, kami bisa meremajakan staf penulis yang ada,” ujar MacFarlane kalem.

Kreativitas hanya bisa disulap jadi sukses bisnis kalau menghasilkan produk yang inovatif?

Tidak juga. Sebab, salah satunya, sukses bisnis tak melulu ditentukan oleh faktor produk, tapi juga pemasaran, penjualan, dan banyak lagi. Keberhasilan seorang (mantan) ibu rumah tangga biasa mendirikan sebuah kerajaan bisnis kosmetik dengan 500 ribu lebih tenaga penjual di 29 negara yang mendatangkan pendapatan lebih dari US$ 2 miliar/tahun membuktikan hal ini.

Ketika perempuan itu, Mary Kay Ash, mendirikan Mary Kay Cosmetics Inc., pada 1963, dia tak punya produk yang dikembangkan sendiri. Resep produk pertamanya, krim pelembut kulit, dia beli dari seorang putri penyamak kulit. Dia lalu menyewa pabrikan lokal untuk memproduksi krim tersebut dan mendandani sebuah toko kecil di Dallas, Texas, untuk dijadikan kantor pemasaran. Untuk ini saja dia sudah menguras tabungannya, US$ 5 ribu.

Dibantu sang suami yang mengurusi masalah keuangan, Ash merekrut 9 temannya sebagai barisan tenaga penjualan. Sialnya, sebulan sebelum bisnis diluncurkan, suaminya meninggal. Namun, tak menggubris pengacara yang menasihati untuk membatalkan Mary Kay, dibantu putra sulungnya, Richard Rogers, perempuan yang waktu itu berusia 40-an tahun ini jalan terus.

Hasilnya: dalam tempo tiga setengah bulan sejak beroperasi pada 13 September 1963, penjualan Mary Kay mencapai US$ 34 ribu dan, pada akhir tahun pertama, melejit jadi US$ 198 ribu. Lalu, setahun kemudian, dengan barisan penjual yang menggelembung jadi 3.000 orang, penjualan meroket jadi US$ 800 ribu.

Rahasia sukses Mary Kay? Bisa dipastikan bukan produk, melainkan strategi penjualannya yang kreatif.

Sejak didirikan, Ash telah mengayun strategi yang unik di antara bisnis penjualan langsung yang ada. Alih-alih menggunakan cara penjualan yang agresif, high-pressure sales pitches, dia menginstruksikan barisan penjual — semua perempuan dan disebut sebagai “konsultan kecantikan” — untuk menunjukkan kepada para perempuan (yang menjadi target pasar) bagaimana mereka bisa menggunakan produk Mary Kay buat meningkatkan penampilan. Begitu para perempuan tersebut melihat hasilnya, produk Mary Kay akan laku dengan sendirinya. Waktu itu, menurut Ash, belum ada perusahaan yang menggunakan pendekatan begini.

Lalu, begitu produk tersebut laris-manis, kian banyak perempuan yang ingin jadi konsultan kecantikan Mary Kay, termasuk dari kalangan pengguna. Alasannya sederhana. Karena, laiknya sistem penjualan langsung, sebagai tenaga penjual mereka mendapatkan komisi lumayan — bahkan Ash memastikan komisi tersebut lebih dari sekadar lumayan.

Ash sendiri awalnya terlibat langsung dalam menjajakan produk Mary Kay. Akan tetapi, dengan kian menggelembungnya barisan penjual, dia lalu memfokuskan diri untuk memotivasi para konsultannya itu. Dia menyuntikkan antusiasmenya yang menyala-nyala dengan sederetan slogan, seperti:
“I created this company for you.”
“At Mary Kay you are in business for yourself, but not by yourself.”
Lebih dari itu, Ash lalu juga menghadiahi para konsultan topnya dengan perhiasan berlian, liburan bintang lima dan, yang membuatnya unik, pink Cadillacs — mobil mewah merek Cadillac berwarna merah muda yang suprafeminin. Dengan srategi luar biasa ini, Ash berkibar jadi jutawan ketika Mary Kay diluncurkan ke bursa saham pada 1968.

Memasuki 1983, penjualan Mary Kay telah melangit jadi US$ 324 juta. Akan tetapi, dengan bertumbuhnya bisnis, pemegang saham yang juga kian banyak mulai mempertanyakan, apa masih perlu bagi-bagi “mobil warna pink yang norak itu” kepada para konsultan.

Sadar betul bahwa “mobil warna norak” tadi merupakan tulang punggung dari strategi peningkatan motivasi dan simbol nasional perusahaan, Ash langsung memutuskan untuk “nggak butuh dana publik kalau itu malah membahayakan fondasi paling dasar bisnisku.” Tak menggubris advis para pakar, pada 1985 dia memborong seluruh saham Mary Kay dan membawanya jadi perusahaan private lagi.

Langkah ini terbukti tepat. Memasuki 1993, penjualan Mary Kay menembus US$ 1 miliar dan berkibar jadi perusahaan penjualan langsung produk perawatan kulit terbesar di AS.

Dari mana Ash menemukan strategi ampuhnya?

Dilahirkan sebagai Mary Kathlyn Wagner pada 12 Mae 1918 di Hot Wells, sebuah kampung di Texas, perempuan ini sempat kuliah di University of Houston sampai 1943, ketika dia menikah dengan Ben Rogers. Pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian, sehingga buat menghidupi ketiga anaknya dia lalu bekerja di Stanley Home Products, perusahaan penjualan langsung perkakas dan produk rumah tangga asal Houston. Pekerjaan sebagai tenaga penjual ini dilakoninya hingga 1952, ketika dia menerima pekerjaan sebagai Direktur Pelatihan Nasional World Gift Co., perusahaan penjualan langsung yang bermarkas di Dallas.

Dalam tempo 10 tahun, Mary Kay berhasil mengembangkan sayap distribusi World Gift ke 43 negara bagian hingga dia menduduki posisi direktur penjualan. Meski demikian, saran-sarannya kerap dipatahkan oleh direksi lain yang lelaki dengan komentar semacam, “Oh, Mary Kay, you’re thinking just like woman” — suatu hal yang membuatnya tersinggung berat. Maka ketika pada 1962 kejadian semacam di Stanley Home terjadi — kali itu seorang lelaki yang pernah dia beri pelatihan dijadikan supervisornya dengan gaji dua kali lipatnya — Mary Kay lalu minta pensiun dini.

Waktu itu, Mary Kay berniat hendak menulis buku buat membantu kaum Hawa menghindari kejadian yang tak menyenangkan di dunia kerja yang didominasi kaum Adam. Untuk itu, dia menyusun dua daftar. Pertama, berisi ringkasan pengalaman negatif yang dialaminya. Kedua, deskripsi rinci kualitas yang dia pikir ideal tentang sebuah bisnis — “perusahaan impian” bagi kaum peerempuan yang memiliki keluarga. Termasuk ke dalam ideal ini adalah memperlakukan setiap orang dengan setara, memberikan promosi berdasarkan prestasi, memilih produk berdasarkan kinerja penjualan dan marketability ketimbang sekadar profitability.
Ketika membaca ulang daftar kedua ini, Mary Kay terhenyak, “Mengapa aku cuma bikin teori tentang perusahaan impian? Mengapa nggak bikin aja sendiri?” Perempuan itu tahu betul, dia punya pengalaman luas di bisnis penjualan langsung.

Ketika suami pertamanya dikirim ke garis depan, Mary Kay muda sudah membuktikan kemampuan jualnya. Waktu itu, dia menerima tantangan dari seorang perempuan tenaga penjual door-to-door — kalau mampu menjual 10 set ensiklopedia, perempuan itu akan memberinya satu set secara gratis. Nah, dia mampu menghabiskan 10 set itu dalam waktu satu setengah hari. Sebuah prestasi luar biasa mengingat 10 set adalah kuota tiga bulan untuk penjual paling top di perusahaan ensiklopedia tadi!

Bakat yang ditemukan secara tak sengaja inilah yang membuat Mary Kay sukses sebagai penjual, baik di Stanley Home maupun World Gift. Akan tetapi, dia ingat betul, banyak temannya jadi marah karena dia berhasil membujuk mereka membeli barang yang tak betul-betul mereka butuhkan. Sebab itu, kalau mau buka bisnis sendiri, pikirnya, “Yang dijajakan haruslah produk yang dia percaya betul memberi kegunaan kepada pelanggan.”

Pada 1963, Mary Kay menemukan produk yang dia cari tak jauh-jauh — krim penghalus kulit buatan salah satu kenalannya, Ova Heath Spoonemore, yang sudah dia gunakan selama 10 tahun. Produk tersebut dikembangkan oleh ayah Spoonmore yang tinggal di Arkansas, J.W. Heath, konon hasil modifikasi dari larutan penyamak kulit. Lalu, dengan “mengorangkan” barisan penjual yang juga yakin bahwa produk yang mereka jajakan betul-betul bagus dan bermanfaat, berkibarlah Beauty by Mary Kay yang hanya bermodal US$ 5 ribu menjadi Mary Kay Cosmetics yang membukukan penjualan US$ 2 miliar lebih.

Buat menjaga antusiasme barisan penjual agar tetap tinggi, Mary Kay sang CEO yang pada 1966 menikah untuk ketiga kalinya dengan Melville J. Ash — dan semenjak itu dikenal sebagai Mary Kay Ash — betul-betul memanjakan orang-orangnya itu. Caranya? Bukan sekadar dengan fulus atau hadiah mahal, tetapi juga… pengakuan, recognition.

Sejak dini, Ash menghadiahi perhiasan berlian kepada top saleswoman dalam sebuah gathering yang dihadiri seluruh orangnya. Tradisi ini kemudian berkembang jadi acara tahunan. Walau harus membayar biaya transportasi sendiri plus biaya pendaftaran (yang pada 1993 saja sudah US$ 125), puluhan ribu “konsultan” Mary Kay setiap tahun berbondong ke seminar di Dallas dari Bakerfield, Wichita, Fayetteville, Grosee Pointe, dan kota-kota kecil lain yang jauh, bahkan di luar Texas. Beberapa ribu di antaranya mengendarai pink Cadillac yang jadi simbol sukses.

Dalam acara selama tiga hari itu, Ash menyematkan sendiri mahkota buat Queens of the Seminars — mereka yang membukukan rekor penjualan atau rekrutmen tertinggi tahun itu. Penjual tersukses, seperti Anne Newbury, diperkenalkan melalui klip film seperti, kalau sekarang, ketika Partai Demokrat menominasikan Barack Obama.

Selama 24 tahun NewBury telah mendatangkan penjualan US$ 2 juta. “Saya nggak tahu bagaimana kalian,” katanya di podium seperti dicatat Fortune pada 1993, “tapi sejak muda saya selalu memimpikan punya Cadillac. Dan saya mendapatkan Cadillac pertama saya dengan gampang…” Seluruh audiens langsung menyambut dengan “Ahhh…” Mereka sangat menghargai prestasi Newbury, sebab mereka tahu perempuan berusia 52 tahun itu memulai kariernya sama dengan mereka — dari paling bawah.

Kompensasi emosional seperti yang didapat Newbury, Ash paham betul, tak kalah penting ketimbang duit. Bahkan, buat seorang seperti Newbury yang telah mendapatkan banyak komisi, kepuasan emosional mungkin lebih penting. Pada seminar seperti itu, semua mendapat apa yang berhak didapat. Tak ada yang disembunyikan. Jaket dengan warna yang menunjukkan prestasi, mahkota, badge, emblem.

Direktur Penjualan Deborah Robina mengenakan gelang emas bertatahkan 32 berlian membentuk kata “.000.000.” Angka itu menunjukkan berapa besar dia dan barisan konsultan di bawahnya membukukan penjualan pada tahun sebelumnya — dan dia bangga dengan pengakuan tersebut. Konsultan tingkat di bawah mengenakan pin metal bertuliskan “.000.” Dengan begitu, setiap orang segera tahu dengan siapa dia berhadapan.

Namun, semua mendapat perhatian besar dari Ash yang selalu memanggil mereka dengan “my child(ren)” sambil memandang dalam ke mata lawan bicara. Perlakuan seperti inilah yang membuat mereka bertekad, suatu saat yang tak kelewat lama mereka akan memberikan penjualan tertinggi buat Ash sang Ibunda. Apalagi mereka tahu betul, ketika anak Shirley Hutton, salah satu dari mereka, dirawat karena batu ginjal, Ash dengan penuh perhatian mengunjungi rumah sakit, bahkan sampai dua kali.

Dalam seminar seperti itu, para suami dan anak-anak diberi kesempatan berdarmawisata, selain presentasi khusus. “Tugas para suami,” orang-orang Mary Kay meyakinkan, “adalah mendukung istri mereka berprestasi sebagus mungkin.”
Kaum Adam itu tidak merasa tak nyaman dengan keadaan yang terbalik dibanding yang berlaku umum?

Mereka juga tersihir oleh karisma Ash yang selalu meyakinkan bahwa perempuan diciptakan setara dengan lelaki — bukan buat digaji 74¢ untuk setiap $ 1 yang diterima lelaki. “I promise you your wife will be making three times the money of her corporate job,” ujarnya. “Plus, kalian akan mendapat keuntungan lain dari cara hidupnya yang positif karena menempatkan Tuhan pada proritas pertama, keluarga kedua, dan karier ketiga.”

Bagaimana dengan kaum perempuan yang tak punya karisma cukup tinggi, apakah mereka berpeluang menyulap kreativitas menjadi bisnis besar? Robin Chase membuktikan, tanpa bakat alami seorang Mary Kay, di tangan seorang perempuan yang mendahulukan kepentingan keluarga, kreativitas tetap bisa membuahkan sukses.

Kisah sukses Chase berawal ketika ibu tiga anak yang sedang cuti di luar tanggungan perusahaan itu bertemu dengan Antje Danielson, yang sedang mengambil program post-doctoral di Harvard, di sekolah anak-anak mereka. Pada 1999 itu, Danielson yang asal Jerman itu mengemukakan ide tentang bisnis sharing mobil yang dia lihat ketika kuliah di Berlin.

Danielson ingin mendirikan bisnis semacam itu dan sedang berupaya menghimpun dana, tetapi terhambat oleh kehamilannya yang sudah memasuki usia 6 bulan. Maka, dia menawari Chase untuk jadi mitranya. Pikir Chase waktu itu, “What a brilliant idea! Untuk bisnis semacam inilah gunanya Internet.”
Konsep bisnis itu sekaligus bisa jadi solusi sempurna masalah yang dia hadapi. Tinggal di Cambridge, Massachusetts, dengan seorang suami dan tiga anak, dia butuh satu mobil lagi tapi enggan memanggung biaya mobil kedua dan menambah polusi ke lingkungan. Selain itu, telah bosan bekerja di perusahaan orang sejak mendapatkan gelar M.B.A. dari Sloan School of Management, MIT, pada 1986, dia ingin benar memiliki bisnis sendiri.

Maka, setelah melakukan riset kecil-kecilan, pada Juni 2000 duo Chase-Danielson meluncurkan Zipcar. Akan tetapi, armada kecil mereka baru mulai beroperasi pada 2001 di kawasan Boston dan Cambridge. Saat ini, armada perusahaan berlogo bulatan hijau dengan huruf “Z” putih di tengah ini bukan saja telah tersebar di kota-kota besar AS, tetapi juga di Vancouver, Toronto (Kanada) dan London (Inggris).

Harus diakui, Chase hanya mengantarkan Zipcar sampai Februari 2003. Perhatiannya yang kelewat tinggi terhadap pencinta lingkungan membuatnya sulit membesarkan start-up itu menjadi perusahaan besar. Maka, ketika tak lagi menguasai saham mayorits, dengan legowo dia diganti oleh profesional yang lebih andal, Scott Griffith, mantan eksekutif Boeing Co.. Kendati demikian, perempuan inilah yang, boleh dibilang, sendirian menyemaikan ide menjadi bisnis dengan kreativitasnya.

Chase itulah yang membuat model bisnis awal untuk mengatasi ketiadaan parkir gratis di AS, menyiasati harga mobil yang lebih tinggi ketimbang dugaan awal, mengupayakan pendanaan awal dari beberapa sumber. Dia pula yang menemukan betapa konsumen AS enggan membayar fee tahunan terlalu tinggi, tapi rela merogoh kocek lebih dalam untuk sewa mobil jam-jaman.

Chase pula yang memformulakan layanan yang nyaman — biaya sewa yang US$ 8-12 (tergantung pada jenis mobil) sudah termasuk bensin, sewa parkir, asuransi, dan sewa kendaraan itu sendiri. Bahkan dia, dibantu Ray Russell (suaminya), yang menciptakan teknologi propretiery buat menjalankan model bisnis Zipcar di mana penyewa dapat memesan mobil untuk waktu (hari, jam, durasi) tertentu melalui Internet, datang ke pul terdekat dan masuk ke mobil yang dipilihnya tersebut hanya dengan menempelkan kartu pada chip di dekat kaca depan, membeli bensin dengan menunjukkan kartu yang tersedia di dalam mobil, dan mengembalikan lagi mobil ke pul.

Kreativitas Chase terbukti bahwa setelah lengser dari kursi CEO Zipcar, dia berhasil mendirikan dan menjadi CEO GoLoco.org, yang mengombinasikan online carpooling dengan social networking. Selain itu, dia juga mendirikan Meadow Networks, perusahaan konsultasi transporasi, dan mengelola Networkd Musings, blog dengan topik bahasan peubahan iklim, transportasi dan jaringan nirkabel.

Apakah Chase yang tak mampu mengemudikan Zipcar ke level selanjutnya itu terbilang sukses?

Ya. Di luar Zipcar, ventura Chase memberikan hasil seperti yang diharapkan. Kegagalan di Zipcar itu, sekali lagi, lebih karena perhatiannya yang begitu besar terhadap isu lingkungan sehingga dia memasarkan bisnisnya sebagai solusi terhadap masalah polusi udara dan semacamnya (walau titik pandang ini valid).

Selain itu, reputasi Chase sebagai orang yang kreatif juga diakui khalayak. Dia laris sebagai pembicara di berbagai forum.


Riset: Siti Sumariyati

Artikel ini diambil dari www.swa.co.id
URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=8363

Ebook Just DUIT

Berikut ini saya upload lagi ebook dengan judul Just Duit karangan Yohanes Lim. Silakan diambil di http://www.4shared.com/file/75302784/ef61467a/Just_Duit-Johanes_Lim.html

Jumat, 05 Desember 2008

Ebook Sukses Tanpa Gelar

Ebook Sukses Tanpa Gelar bisa menjadi inspirasi kita dalam menjalani hidup ini. Silakan didownload di http://www.4shared.com/file/74685673/ac424c5e/SuksesTanpaGelar-AndreasH.html  Ebook ini gratis...tis..tiss...

EBook-The Secret

Bagi anda-anda yang menyukai ebook, dibawah ini bisa didownload buku The Secret dalam bahasa Indonesia. Ebook ini saya dapatkan secara gratis sehingga sekarang saya bagikan juga secara gratis. Silakan didownload di http://www.4shared.com/file/74683099/f3f2aba0/thesecret.html

Selamat membaca.