Rabu, 19 November 2008

TEAM ABAD 21: Kelompok Serigala

Oleh : Ningky Munir
Dosen Sekolah Tinggi Manajemen PPM

Wolf Credo
• Respect the elders
• Teach the youngs
• Cooperate with the pack
• Play when you can
• Hunt when you must
• Rest in between
• Share your affections
• Voice your feelings
• Leave your mark
(The Wisdom of Wolves, 1995)
Andrew Grove dari Intel Cooperation pernah mengatakan bahwa perusahaan masa kini tidak mempunyai pilihan, selain harus beroperasi di dunia penuh perubahan, yang dibentuk oleh globalisasi dan revolusi informasi. Cuma ada dua opsi: beradaptasi atau mati. Kita mengetahui bahwa adaptasi memerlukan fleksibilitas dan kemampuan belajar yang tinggi. Dalam The Living Company (1997) yang ditulis Arie de Geus, perusahaan-perusahaan yang berhasil untuk terus hidup selama lebih dari lima bahkan sepuluh dekade mengandalkan kelompok untuk melakukan adaptasi. Kelompok menjadi pilihan perusahaan yang ingin menjadi lebih fleksibel karena proses pengambilan keputusan didorong ke garis depan. Kemampuan belajar perusahaan pun meningkat, melalui pemberdayaan intelektual dan kreativitas karyawan. Seperti apa bentuk kelompok yang pas bagi perusahaan masa kini?
Menurut Towery, seorang ahli serigala dalam The Wisdom of Wolves (1995), kelompok serigala adalah kelompok yang mempunyai kinerja tinggi. Dan seperti perusahaan-perusahaan masa kini, ternyata kelompok serigala juga tidak dapat mengantisipasi kejadian. Namun kelompok serigala mengatasinya dengan membangun fleksibilitas dan kemampuan bereaksi dengan cepat untuk menghadapi situasi-situasi tak terduga. Oleh sebab itu, tampaknya kelompok serigala perlu dipelajari sebagai upaya membangun kelompok kerja yang pas untuk abad ini.
Sikap. Perilaku kelompok serigala didasari oleh satu pertanyaan: Apa yang terbaik bagi kelompok?. Serigala tidak akan berlari memburu mangsanya, menyalak, menggonggong, dan menggeram tanpa tujuan. Mereka memiliki perencanaan strategik yang dieksekusi melalui komunikasi terus menerus di antara anggota. Bila saaatnya tiba, masing-masing anggota tahu persis apa perannya dan mengerti persis apa yang diharapkan oleh kelompok darinya. Semua yang terbaik, untuk kelompok. Serigala tidak bergantung pada nasib baik. Kohesi, kerjasama, dan pelatihan menentukan apakah kelompok bakal hidup atau mati.
Begitu juga manusia, seharusnya. Team yang sukses mempunyai perspektif yang benar dan sikap yang pas. Selalu memvisualisasikan sukses. Selalu optimis. Motivasi terbesar tidak selalu datang dari uang yang melimpah, promosi, atau tepuk di bahu. Kerja keras dan sukses, seringkali datang dari diri sendiri
Keunikan. Jumlah anggota kelompok serigala berkisar antara lima hingga delapan ekor. Para serigala itu sangat berhati-hati untuk tidak meniru satu sama lain. Setiap anggota menduduki posisi tertentu, saling menghormati keberbedaan yang dimiliki oleh anggota lain. Pada kelompok serigala, tidak pernah satu anggota mengambil alih peran dan tanggung jawab anggota lainnya. Terlepas dari seberapa gesit atau lamban, besar atau kecil, kuat atau lemahnya dia. Bila ada yang tidak berperan sesuai dengan tuntutan, maka kelompok menjadi timpang dan akhirnya mati.
Bila dianalogikan dengan kelompok kerja manusia di perusahaan, maka setiap anggota kelompok harus menghormati keunikan anggota lainnya. Bukannya memaksa anggota yang berbeda itu menjadi sama dengan yang lain. Masing-masing anggota harus berkontribusi pada kelompok melalui bakat dan kekuatan dirinya. Dengan mengekspresikan keunikan dirinya, serta menghormati dan mendukung keunikan yang lain, maka kelompok akan menjadi kuat, tak tergoyahkan. Seperti kelompok serigala, setiap anggota harus menjadi aset bukan liability yang mesti ditanggung bersama. Setiap orang mempunyai tanggung jawab dan setiap tanggung jawab adalah vital bagi kesuksesan proyek.
Komunikasi. Modal utama di balik kesuksesan suatu team adalah anggotanya,- bukan manajer -, yang bertanggung jawab atas tugasnya, memantau kinerjanya masing-masing, dan mampu cepat mengubah cara kerjanya bila dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah atau bila ada perubahan situasi. Dalam bekerja, para anggota team aktif berkomunikasi. Ini penting, karena sukses team bergantung pada efektivitas komunikasi serta pertukaran pengetahuan dan pengalaman di antara anggota.
Untuk mengeksekusi strateginya, serigala aktif berkomunikasi. Seperti manusia, serigala pun tidak mengandalkan satu bentuk komunikasi. Mereka melolong, menggonggong, menyalak, mendengus, menggeram, menjilat, menunjukkan sikap tubuh dominan atau tunduk, menggerakkan bibir, mata, dan ekspresi wajah untuk menyampaikan pesan. Seperti manusia juga, mata digunakan untuk komunikasi yang paling sensitif. Dalam suatu perburuan, bahkan gerakan tak kentara dari otot mata serta perubahan besar pupil mata sangat menentukan koordinasi antara anggota.
Kreativitas dan Kerja Keras. Dalam kelompok serigala, hampir selalu ada serigala Omega. Biasanya serigala Omega adalah serigala jantan dan bertubuh relatif kecil dibandingkan anggota yang lain. Kelompok selalu menempatkan serigala Omega ini di urutan paling akhir dari segala-galanya, terutama dalam urutan hak untuk makan. Bila kelompok bisa bertahan hidup, serigala Omega akan cenderung menjadi sangat tahan banting. Anggota yang lain pun semakin menghargainya.
Biasanya setelah sekian lama mengikuti kelompok dengan segala ketabahan dan kerja keras, serigala Omega akan memisahkan diri dan berkelana sendirian. Beberapa waktu kemudian, bekas serigala Omega tersebut akan bergabung dengan kelompok lain, bertemu dengan pasangannya, dan membangun kelompoknya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa anggota yang terlemah pun dari kelompok harus mempersiapkan diri tidak saja untuk menyandang tanggung jawab pribadi, namun siap untuk memimpin kapan pun
Pada team manusia, sering terbukti bila manajer menghambat kreativitas karyawan, maka karyawan tersebut akan semakin tidak mampu. Menurut Henry Mintzberg, pakar manajemen strategi dalam Strategy Safary (1998), pemisahan antara kegiatan berpikir dan kegiatan pelaksanaan seperti pada praktek penyusunan strategi di perusahaan-perusahaan membuat manajer dan karyawan kehilangan kemampuan untuk menggagas dan memberikan tanggapan dengan cepat. Ketika para manajer meningkat posisinya menjadi perencana strategik, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Bermain. Manusia seringkali menggunakan istilah "bekerja habis-habisan, bermain habis-habisan". Bagi kelompok serigala, pernyataan tersebut pas sesuai dengan apa yang dilakukannya. Serigala-serigala muda adalah makhluk yang sangat gembira. Kerjanya hanya bermain dan bermain, bahkan seringkali bermainnya keterlaluan. Bermain merupakan sarana untuk mengasah keterampilan berkomunikasi, bekerjasama, dan berburu, yang diperlukan untuk mencari makan dan bertahan hidup. Serigala menjadi lebih kuat secara fisik dan mental, melalui kegiatan bermain. Namun bermain juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain. Yaitu sebagai metode praktis untuk menentukan peringkat di antara anggota kelompok. Semacam kegiatan assessment pada manusia.
Kegagalan. Walau secara alami kelompok serigala adalah mesin pemburu yang sangat efektif, namun mereka juga pernah gagal. Tingkat kegagalan kelompok serigala dalam berburu mencapai 90 persen. Jadi, secara statistik hanya satu dari sepuluh kali upaya perburuan yang membuahkan hasil. Oleh sebab itu, keberhasilan adalah hal yang sangat menentukan mati hidupnya kelompok. Namun respons kelompok terhadap kegagalan-kegagalan yang terus mendera bukan berupa putus asa, kelesuan, kekalahan dan akhirnya menyerah. Serigala tidak menjadi frustasi atau jatuh ke dalam depresi seperti manusia. Mereka terus menerus berupaya, dan terus menerus menyempurnakan segala keterampilannya. Mereka percaya, sukses akhirnya akan datang juga.
Manusia sungguh perlu meniru serigala. Dalam hal stamina, ketekunan, dan motivasi diri yang tinggi. Seperti seorang bijak mengatakan:
Manusia seperti kaca jendela; kaca itu memantulkan cahaya seolah bersinar kala diterpa sinar matahari. Namun bila gelap datang, keindahan kaca hanya bisa tampak bila ada cahaya di dalamnya.

Selasa, 18 November 2008

Tiga Sikap Seorang Pengubah

Oleh : Paulus Bambang W.S.

“God grant me the SERENITY to accept the things I can not change, COURAGE to change the things I can and WISDOM to know the difference”.
Plakat yang berisi kalimat bijak tersebut terpampang di dekat meja kerja lebih dari sepuluh tahun. Pada bulan puasa ini, kalimat ini kembali menyentak saya. Tanpa sadar, sewaktu melewatkan waktu untuk bermeditasi siang hari di saat perut kosong, saya seakan-akan ditarik ke plakat yang berbentuk kitab suci tersebut. Kalimat itu seakan berkotbah pada saya. Inti kedamaian dari kegalauan hati adalah serenity, courage dan wisdom. Tiga sikap yang mesti selalu dimainkan dan ditimbang. Bagai seperangkat senjata yang tak harus diayunkan secara bersama. Kadang harus memilih yang satu dan melupakan yang lain. Tentunya, dengan kesadaran konsekuensi masing-masing.
Keinginan mengubah sesuatu di sekitar yang tak cocok dengan kata hati dan pikiran memang membuat hati galau dan gundah. Kenapa begitu dan bukan begini? Kenapa sulit menerima paradigma baru? Kenapa yang seharusnya didemosi malah selalu mendapat promosi? Kenapa yang bergaya preman malah jadi petinggi, sedangkan yang bergaya ulama hidupnya terseok ke belakang? Semakin bertanya, semakin hati ini tak nyaman karena jawaban makin jauh tersedia.

Karena berpuasa, siang itu saya punya waktu luang untuk membaca buku Joel Osteen yang jadi best seller di New York Times. Judulnya, Your Best Life Now. Pikiran saya kembali ditarik pada sebuah cerita yang tertulis di sana. Ini cerita lama yang sudah sering saya baca. Namun entah kenapa, siang itu, cerita ini menjadi bersinar. Sangat sejalan dengan tulisan di plakat tadi.

Begini ceritanya. Pada suatu malam yang sangat gelap pekat, seorang nakhoda kapal melihat ada sinar di depan yang seakan-akan muncul mendekat. Kepekatan malam dan awan membuat ia seolah-olah tak sempat bermanuver untuk menghindari tabrakan. Dengan sigap ia menggunakan radio untuk mengirim sinyal agar kapal tersebut berubah haluan 10 derajat ke timur.

Beberapa detik kemudian, ia mendapat pesan balik: ”Tak dapat saya lakukan. Ubahlah haluan Anda 10 derajat ke barat”, begitu pesan singkatnya. Kapten kapal tersebut menjadi sangat marah. Ia kembali mengirimkan pesan: ”Saya kapten Angkatan Laut, saya minta engkau yang mengubah haluan.” Ia mendapat pesan balik yang berbunyi: ”Saya hanya pelaut kelas dua, tak dapat lakukan itu. Ubah haluan Anda.”

Kapten menjadi curiga dan mengirimkan pesan terakhir: ”Saya berada di kapal perang dan saya tidak akan mengubah arah”. Tak lama kemudian ia mendapat pesan balik lagi: ”Saya berada di mercusuar. Tak mungkin saya mengubah arah. Terserah Anda Tuan.”

Saya tersenyum lepas. Saya juga seperti kapten yang sering bersitegang dengan mercusuar dan batu karang. Saya lelah karena berupaya tanpa hasil nyata. Benar kata pepatah, “Smart work is better than hard work”. Kadang sudah bekerja keras untuk mengubah, tapi tak ada hasil nyata. Kadang dengan upaya yang sedikit, perubahan datang deras bagai air bah. Ini bukan soal mistis. Akan tetapi, mengenali dengan hati terbuka apa yang ada di depan sana. Perubahan terbesar kadang bukan pada objek yang di depan, justru pada diri sendiri.

Ada tiga sikap yang perlu menjadi pertimbangan dalam menangani sebuah perubahan. Baik perubahan soal nilai hidup, pekerjaan, keluarga, ekonomi maupun bidang spiritual sekalipun.

Sikap pertama soal perubahan yang penting adalah serenity. Suatu sikap yang tenang, tenteram, dan berani menerima kenyataan bahwa banyak hal yang tidak mungkin kita bisa ubah, apalagi secara frontal dan instan. Budaya perusahaan yang sudah merasuk, praktik bisnis yang telah mendarah daging, konflik politik antarpemimpin yang kronis dan berbagai sistem prosedur yang sudah terkontaminasi pikiran dikorupsi adalah sedikit contoh sesuatu yang lebih kokoh dari mercusuar.

Serenity berarti berani berkontemplasi, mampukah melakukan perubahan. Kalau tidak, hanya ada dua pilihan. Menerima kenyataan itu dengan legowo, bukan lantas frustasi dan apatis. Namun langkah demi langkah, menundukkan sesuatu yang mudah dikalahkan. Memerlukan waktu tahunan untuk mengubah kultur yang sudah berusia satu generasi. Bukan berarti mustahil. Hanya butuh kesabaran untuk jadi pengubah. Bahkan kadang, hasilnya baru akan terlihat pada pemimpin selanjutnya. Setidaknya, Anda telah jadi penabur benih perubahan. Atau, mundur teratur dari gelanggang dan mencari tempat lain.

Sikap pengubah kedua adalah pada courage, semangat melakukan perubahan kala kemungkinan itu ada. Menggunakan otoritas yang ada untuk menegakkan kebenaran adalah mutlak. Untuk kasus yang satu ini, tidak ada kata lain selain bertempur sampai titik darah penghabisan. Kebenaran harus di atas kebaikan. Nilai-nilai hidup harus di atas kinerja bilangan. Ini harus dilawan tanpa kompromi sekalipun harus meletakkan jabatan. Berperang melawan prinsip adalah soal sikap hidup. Sebuah keberanian hakiki yang mutlak bagi yang menganut "principles driven leadership".

Sikap ketiga adalah pada aspek wisdom, kebijakan membedakan kapan memakai senjata serenity dan kapan mengayunkan courage. Wisdom bukan berarti kompromi dalam arti sempit. Wisdom adalah simbol kesadaran mutlak kapan mengalah dan kapan harus mengalahkan. Kapan harus marah dan kapan harus ramah. Ini hanya bisa dipupuk dengan knowledge dan knee. Knowledge berarti pengetahuan dan pengalaman. Dan, knee artinya banyak doa alias modal dengkul kepada sang Pencipta. Sikap inilah yang akan secara gamblang dan gampang mampu membuka mata hati kita apakah kita sedang menghadapi mercusuar, kapal musuh atau kapal rekan.

Artikel ini diambil dari Majalah SWA

Senin, 17 November 2008

Rencana Stratejik Pribadi

Perusahaan menyusun rencana. Para wirausaha (tidak semua) melakukannya juga. Banyak bisnismen sukses mempunyai suatu rencana stratejik untuk membantu mereka memperoleh ketajaman berpikir dan fokus.
Perusahaan punya ketajaman dan fokus. Kita secara pribadi pun juga perlu, bila ingin mencapai masa depan yang kita harapkan.
Sisihkan waktu beberapa jam bulan ini untuk membayangkan Masa Depan Anda 3 tahun ke depan.
Jangan memikirkan pada hal-hal kecil. Bawa imajinasi Anda menuju masa depan.
Tentukan enam atau tujuh aspek hidup pribadi yang amat penting Misalnya: :
Keluarga - Rohani - Perjalanan - Kesehatan - Sosial - Intelektual - Keuangan
Di tiap aspek ini, kembangkan jelas apa yang Anda mau capai. Apa yang mungkin, bagaimana yang Anda cita-citakan dalam aspek-aspek ini. Jelaskan sebaik-baiknya seperti apa itu dan bagaimana rasanya ketika Anda mencapai cita-cita di tiap bidang itu. Tuliskan seakan akan itu telah terjadi sekarang. Inilah gambaran masa depan Anda.
Bila Anda mampu menjelaskan masa depan yang Anda harapkan, pada setiap bidang yang penting tersebut, maka visi itu menjadi bagian dalam kehidupan Anda. Visi yang jelas itu membantu Anda menetapkan arah, memberikan motivasi, energi, motivasi, tujuan, dan arah. Hidup ini diisi oleh berbagai kesempatan, dan setiap kesempatan tidak akan terlewat begitu saja.
Banyak orang yang sibuk dengan tugas-tugas pribadi yang tidak tentu arah dan tujuannya. Ada kutipan abad pertengahan mengatakan "The mass of men lead lives of quiet desperation".
Banyak orang yang tidak seimbang hidupnya. Tujuannya cuma uang, uang dan uang, dan dia harus membayarnya dengan sakit kronis, perkawinan berantakan, tidak punya teman, tanpa pengembangan pribadi dan hobi. Semua bisnis dan bisnis dan bisnis.
Oleh sebab itu, dengan menetapkan dan mengejar rencana pribadi yang seimbang itu, Anda akan meningkatkan energi, motivasi, dan perasaan puas. Semua bersinergi pada keberhasilan hidup Anda. Dengan kata lain, kebahagiaan Anda. Itulah pilihan Anda.
It`s your choice to make. Most people are as happy as they choose to be.
Get busy developing that for yourself... Get a Life!!

Disadur dan dikembangkan dari tulisan Gary Lockwood, BizSuccess newsletter - http://www.bizsuccess.com/newsletter.htm

EngPerformance, Kunci Kinerja Organisasi

Oleh : William Werhane dan Christian Siboro

Belakangan ini, tekanan terhadap organisasi bisnis untuk meningkatkan kinerjanya amatlah tinggi. Kualitas produk dan layanan, kreativitas, efisiensi, dan aspek lain dalam memenangi persaingan merupakan hal yang terus dituntut untuk ditingkatkan.

Jika dicermati dengan seksama, sejatinya peningkatan kinerja organisasi sangat tergantung pada orang-orang dalam organisasi itu sendiri. SDM menjadi faktor paling signifikan dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Sebagai sumber kunci keunggulan kompetitif, maka engagement (keterlibatan) dan kinerja karyawan, dapat menjalankan atau menghancurkan setiap strategi organisasi. Di sinilah engaged performance (EP) menjadi penting. Pertanyaannya, bagaimana memahami faktor kunci yang mendorong sekaligus meningkatkan engagement? Dan apakah itu EP?

Banyak penelitian mendalam telah dilakukan Grup Hay untuk mengetahui kondisi yang dapat mendukung EP di tempat kerja. Hay mengartikan EP sebagai hasil yang dicapai dengan menstimulasi antusiasme karyawan terhadap pekerjaannya dan mengarahkannya pada kesuksesan organisasi. Dengan kata lain, karyawan yang sepenuhnya terlibat dengan apa yang mereka lakukan dan terhadap organisasi tempat bekerja, akan mengerahkan upaya ekstra (discretionary effort) untuk mencapai tujuan dan strategi organisasi.

Lalu, apa keuntungan riil memiliki karyawan yang engaged? Karyawan yang engaged akan tinggal tetap di organisasi dalam jangka waktu lebih lama, sehingga organisasi menghemat biaya yang berkaitan dengan turnover karyawan. Studi Hay menunjukkan biaya kehilangan karyawan dapat berkisar 0,5-2,5 kali total remunerasi dari seseorang tergantung pada tingkatan dan kompleksitas pekerjaannya. Namun, retensi saja tidaklah cukup bagi kesuksesan organisasi. Sebab, untuk apa tetap tinggal tanpa berkemauan memberi upaya ekstra?

Kalau begitu, apa saja faktor pendorong EP? Penelitian Hay menunjukkan ada tiga penggerak utama EP:
(1) Efektivitas organisasi dan kepemimpinan yang dipersepsikan;
(2) Dukungan yang diberikan kepada karyawan untuk memampukan mereka menjalankan peran pekerjaannya;
(3) Kewajaran dan keadilan perusahaan dalam pengembangan dan penghargaan karyawan.

Untuk masing-masing faktor tersebut ada sub-subfaktor sebagai penggeraknya. Yang patut dicatat, kepentingan relatif berbagai faktor di atas berbeda-beda antarorganisasi, bahkan antarunit dalam satu perusahaan. Pendorong EP karyawan riset dan pengembangan dapat berbeda dari bagian produksi. Maka, organisasi perlu melakukan asesmen secara reguler untuk mengetahui tingkat EP, baik di level organisasi maupun setiap unit kerja. Dari situ dapat diketahui faktor penggerak apa yang perlu difokuskan untuk meningkatkan engagement.

Lantas, apa implikasi EP bagi organisasi? Dari riset dan penggalian data Grup Hay diperoleh kesimpulan berikut:

Mengaitkan karyawan ke gambaran besar keseluruhan perusahaan. Hasil temuan Hay menunjukkan bahwa keyakinan karyawan terhadap kemampuan manajemen puncak perusahaan adalah indikator penentu paling penting dari EP dan turnover. Karyawan saat ini menyadari bahwa prospek mereka untuk kelangsungan bekerja, pengembangan karier, dan kemajuan sangat tergantung pada kesehatan dan kestabilan perusahaan. Dengan kian merasa harus menentukan karier sendiri, mereka tidak mau menggantungkan harapan masa depannya pada perusahaan, kecuali mereka yakin perusahaan dikelola dengan baik dan menuju arah yang benar.

Mengidentifikasi peluang pertumbuhan dan pengembangan.
Karyawan semakin menyadari bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab atas kariernya, dan masa depannya tergantung pada peningkatan keahlian masing-masing. Maka, peluang untuk tumbuh dan berkembang adalah faktor yang menjadi indikator penentu yang secara konsisten menentukan tingkat komitmen karyawan.

Memperkuat hubungan kepenyeliaan (supervisory).
Seorang penyelia berperan penting dalam menentukan jalur karier seseorang dalam organisasi. Melalui pendampingan (coaching) dan umpan balik kinerja yang reguler, penyelia dapat menolong karyawan mengidentifikasi kebutuhan pengembangan dan meningkatkan keahliannya. Penyelia juga sering berperan sebagai mentor yang membantu karyawan memahami tuntutan perusahaan dan mengembangkan dukungan yang diperlukan.

Mengelola kesan pertama.
Lebih mudah bagi karyawan prospektif memahami bagaimana mereka akan dihargai pada posisi yang baru dan apa yang akan diminta untuk dilakukan, ketimbang mengetahui bagaimana perasaan mereka bekerja di dalam organisasi. Akan tetapi, riset dengan jelas menunjukkan bahwa kesesuaian antara karyawan, budaya dan gaya pengelolaan perusahaan adalah salah satu faktor terbesar dalam menentukan akankah karyawan produktif dan tinggal tetap di perusahaan. Untuk meningkatkan kemungkinan kecocokan antara kedua hal itu, organisasi harus memberi gambaran yang realistis mengenai suatu pekerjaan kepada calon karyawan yang prospektif, termasuk sebanyak mungkin informasi tentang budaya dan nilai-nilai organisasi. Jadi, pada akhirnya, organisasi bisnis yang ingin maju – apa pun bentuk dan skala usahanya – harus mampu menciptakan karyawan yang engaged. Kecuali bila ingin terus jadi pecundang. Maka, organisasi perlu melakukan asesmen secara reguler untuk mengetahui tingkat EP, baik di level organisasi maupun setiap unit kerja.

Artikel ini diambil dari majalah SWA.

Melakukan Delegasi yang Efektif

Oleh: Meisia Chandra
Penulis adalah Pemimpin Redaksi PortalHR.com

Delegasi adalah salah satu kemampuan manajerial yang paling penting. Namun, pada praktiknya delegasi juga merupakan masalah yang paling sering dikeluhkan oleh para manajer.

Sering para manajer terjebak dalam pekerjaan rutin, sehingga lupa fungsi utama mereka, yakni membuat perencanaan, koordinasi, menganalisis, memotivasi dan lain-lain. Tak jarang juga para manajer malas melakukan delegasi dengan berbagai alasan. Padahal, akan lebih banyak yang bisa mereka lakukan seandainya mereka mendelegasikan sebagian pekerjaan yang sudah bisa didelegasikan kepada anggota tim.

Delegasi juga penting dalam perencanaan suksesi, pengembangan pribadi --juga dalam mencari dan mengusulkan promosi jabatan. Melalui delegasilah seseorang berkembang dalam suatu pekerjaan --delegasi membuat kita bisa menambah pengalaman baru untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar.

Sebelum Anda bisa melakukan delegasi dengan efektif, maka hilangkan terlebih dahulu asumsi berikut ini:

oSaya sendiri bisa melakukannya dengan lebih baik.

oSaya tidak tahu apakah saya bisa mempercayai dia untuk melakukan itu.

oDia tidak cukup baik untuk melakukan ini.

oDia tidak mau diberi tanggung jawab tambahan.

oSaya tidak punya waktu untuk menunjukkan cara melakukan ini.

oTidak ada staf yang bisa saya tugaskan untuk pekerjaan ini.

oDia sudah cukup sibuk dengan pekerjaannya.

oSaya tidak ingin menyerahkan tugas ini karena saya suka melakukannya.

oSaya satu-satunya orang yang tahu bagaimana melakukan ini.

oDia gagal melakukannya sebelum ini, jadi saya tidak akan memberi dia tugas apa-apa lagi.

Setelah semua asumsi di atas dapat Anda hilangkan, maka delegasikanlah pekerjaan yang bisa didelegasikan. Delegasi yang efektif diperlukan di mana pun dan siapa pun Anda, mulai dari menyuruh anak Anda membersihkan halaman sampai meminta manajer keuangan Anda mempersiapkan laporan tahunan.

Delegasi yang efektif berarti terbaginya beban kerja, dengan bonus tambahan mengembangkan kemampuan dan tanggung jawab kepada yang lain. Anda bisa memaksimalkan pembelajaran dengan menyisihkan waktu untuk merefleksikan pekerjaan begitu pekerjaan tersebut selesai --apa yang berhasil, apa yang gagal, dan apa yang dilakukan selanjutnya? Anda juga bisa mendapatkan masukan mengenai kemampuan delegasi Anda.

Konsultan dan trainer asal Singapura James Gwee, yang banyak berbicara dalam seminar dan memberikan training di Indonesia berpendapat, masalah utama dalam delegasi adalah para manajer sering terlalu detil. Dia memberikan tips agar dalam melakukan delegasi, cukup sebutkan hasil yang Anda inginkan. Tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai apa saja yang harus dilakukan. Biarlah karyawan sendiri yang menentukan langkah-langkah konkret. Yang penting, mereka sudah tahu hasil seperti apa yang harus mereka capai. Cara seperti itu akan merangsang kreativitas karyawan yang bersangkutan. Lebih dari itu, jika berhasil, mereka akan merasa sangat bangga dan sukses karena dapat mencapai target atau tujuan dengan langkah yang mereka susun sendiri.

Sebaliknya, jika Anda terlalu detail dalam menjelaskan setiap hal yang harus mereka lakukan, jika berhasil, mereka akan merasa “biasa-biasa saja” karena merasa bahwa hal itu adalah kesuksesan Anda, jadi tidak ada sense of achievement pada mereka. Repotnya, kalau mereka gagal, mereka akan langsung angkat tangan, bahkan menyalahkan Anda. Karena bagi mereka, kegagalan tersebut akibat dari langkah-langkah yang Anda arahkan.

Menarik juga menyimak pendapat Chairman DHL Indonesia Rudi J Pesik, yang dikemukakan dalam seminar ”Ideas From Giants” beberapa bulan yang lalu. Rudi mengungkapkan, selalu saja dalam melakukan delegasi, dia tidak pernah puas dengan apa yang dilakukan bawahannya. Tapi, biar bagaimana pun, dia harus melakukan delegasi agar dia dapat melakukan pekerjaan lain. Rudi juga menganggap, karyawan tidak akan melakukan sebaik yang dia lakukan. Karena itu, dia mempunyai kriteria, apabila karyawan sudah melakukan 70% saja sebaik dirinya, itu sudah bagus. Daripada dia memusingkan 30% kekurangan itu, lebih baik dia mencari tantangan-tantangan baru sehingga dirinya dan perusahaan lebih berkembang.

Artikel ini diambil dari PortalHR.com

Manajer Sukses vs Manajer Efektif

Oleh :Ir. Bambang Adi Subagio, M.M.

Mana yang lebih penting, menjadi manajer sukses atau menjadi manajer efektif? Jika dihadapkan pada pertanyaan ini mungkin Anda sedikit bingung. Apakah manajer efektif tidak otomatis menjadi manajer sukses? Bukankah seseorang manajer disebut sukses karena dia efektif? Nah sebelum ngelantur lebih jauh sebaiknya kita menyamakan bahasa terlebih dulu. Manajer sukses adalah manajer yang mempunyai indeks sukses di atas rata-rata manajer lainnya, di mana indeks sukses merupakan rasio antara tingkat manajerial yang berhasil dicapai dan masa kerja. Manajer efektif, di lain pihak, adalah manajer yang berhasil mencapai prestasi kerja tinggi dibanding dengan standar yang telah ditentukan, serta mampu melakukan pekerjaan melalui orang lain dengan tingkat kepuasan dan komitmen yang tinggi. Dalam kenyataan memang tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang manajer sukses sekaligus juga menjadi manajer efektif. Namun karakteristik kedua jenis manajer ini tetap dapat dibedakan.
Tahukah Anda tugas atau pekerjaan manajer pada umumnya? Jawaban yang paling populer mungkin adalah POAC (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling). Maka tidak heran apabila Anda juga menjawab demikian. Hal ini dapat dimengerti karena dalam kurun waktu yang cukup lama - sejak Henri Fayol mengemukakan pemikirannya yang sangat terkenal ‘The five Fayolian functions of management’ (Planning, Organizing, Commanding, Coordinating, dan Controlling) - para manajer sejagad meyakini (atau diyakinkan) bahwa tugas atau pekerjaan manajer hanya melakukan kelima fungsi manajemen tersebut. Namun berdasarkan penelitian beberapa pakar manajemen, di antaranya Henry Mintzberg, John Kotter dan Fred Luthans diperoleh gambaran yang lebih komprehensif bahwa tugas manajer sebenarnya tidak hanya melakukan kelima fungsi manajemen seperti yang dikemukakan oleh Fayol tersebut.
Mintzberg mengatakan bahwa pekerjaan manajer terdiri dari banyak pekerjaan pendek (brief) yang tidak selalu berkesinambungan (disconnected) dan mereka sering terlibat dalam hubungan dengan banyak orang, baik di dalam maupun di luar organisasi. Lebih jauh dikatakan pula bahwa manajer mempunyai banyak peran dan mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Dalam hal hubungan interpersonal, manajer berperan sebagai figur kepala, pemimpin dan penghubung. Dalam hal informasional mereka berperan sebagai pengawas, penyebar informasi dan juru bicara. Kemudian sebagai pengambil keputusan mereka berperan sebagai wirausaha, pemecah masalah, pengalokasi sumber daya, dan negosiator.
John Kotter dari Harvard Business School menambahkan bahwa pekerjaan manajer tidak hanya melulu melakukan ‘Fayolian functions’. Lebih dari itu para manajer menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, melalui pertemuan-pertemuan guna mendapatkan dan/atau memberi informasi, yang oleh Kotter disebut sebagai ‘membangun jejaring (networking)’. Melalui cara ini manajer dapat membuat ‘agenda’ sebagai hasil kompromi, serta sedikit melonggarkan kekakuan di antara mereka yang kadang-kadang terjadi karena masing-masing mempunyai sasaran berbeda.
Manajer Sukses vs Efektif : Empat Aktivitas Manajerial
Yang terakhir adalah penelitian oleh Fred Luthans dari University of Nebraska, Lincoln. Luthans mengelompokkan pekerjaan manajer dalam empat aktivitas manajerial sebagai berikut:
• Komunikasi, yaitu aktivitas yang meliputi pertukaran informasi secara rutin dan pemrosesan pekerjaan tulis-menulis.
• Manajemen tradisional, yaitu aktivitas yang terdiri dari perencanaan, pengambilan keputusan dan pengendalian.
• Manajemen sumber daya manusia, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan aspek perilaku, misalnya motivasi/pemberian dukungan, pendisiplinan/penghukuman, manajemen konflik, staffing, dan pelatihan/pengembangan.
• Jejaring (networking), yaitu aktivitas yang meliputi sosialisasi/berpolitik, berinteraksi de-ngan pihak luar, serta hal-hal ‘chit chat’ lainnya yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
Luthans dapat dikatakan menampilkan uraian tentang pekerjaan manajer yang paling lengkap dibanding Fayol, Mintzberg dan Kotter. Diskripsinya mencakup pendapat klasik dari Fayol (aktivitas manajemen tradisional), aktivitas komunikasi dari Mintzberg dan aktivitas jejaring dari Kotter. Tambahan dari Luthans yang cukup penting dan melengkapi adalah aktivitas manajer pada manajemen sumber daya manusia.
Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para manajer sukses dan manajer efektif, Luthans melakukan penelitian terhadap 248 manajer. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu dan tenaga mereka digunakan pada aktivitas komunikasi, sekitar sepertiga pada aktivitas manajemen tradisional, seperlima pada manajemen sumber daya manusia dan kurang-lebih seperlima pada aktivitas jejaring.
Selain melakukan penelitian secara umum tentang aktivitas manajer, Luthans juga melakukan penelitian secara khusus untuk mengamati apa yang dilakukan oleh kelompok manajer sukses dan juga apa yang dilakukan oleh kelompok manajer efektif. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut mempunyai pola aktivitas manajerial yang berbeda.
Pada kelompok manajer sukses, terlihat nyata bahwa mereka mengalokasikan waktu dan tenaga paling banyak pada aktivitas jejaring (48%). Selanjutnya aktivitas komunikasi berada di urutan kedua (28%), manajemen tradisional di urutan ketiga (13%) dan sumber daya manusia adalah aktivitas yang alokasi waktunya paling sedikit (11%). Hal ini menunjukkan bahwa - dengan menggunakan kecepatan promosi sebagai ukuran sukses - manajer sukses lebih banyak menggunakan sebagian besar waktu dan tenaga mereka untuk bersosialisasi, berpolitik, dan berinteraksi dengan pihak luar dibandingkan dengan rekannya yang kurang sukses. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa manajer sukses tidak banyak menggunakan waktu dan tenaganya pada aktivitas manajemen tradisional atau pada manajemen sumber daya manusia.
Pada kelompok manajer efektif, aktivitas yang mendapat perhatian paling besar adalah komunikasi (44%), kemudian manajemen sumber daya manusia (26%), selanjutnya manajemen tradisional (19%), dan yang terakhir jejaring (11%). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa kontribusi relatif terbesar bagi manajer efektif berasal dari aktivitas yang berorientasi pada aspek manusia, yaitu komunikasi dan manajemen sumber daya manusia. Dengan sendirinya berarti pula bahwa bagi manajer efektif, aktivitas yang berkaitan dengan pembinaan jejaring kurang diprioritaskan, sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh manajer sukses.
Uraian di atas barangkali dapat Anda gunakanan sebagai acuan, atau setidak-tidaknya inspirasi, untuk mengembangkan karir Anda di masa depan - mau menjadi manajer sukses atau manajer efektif. Kalau mau menjadi manajer sukses, perluaslah jejaring dan keterampilan berkomunikasi, sedangkan bila ingin menjadi manajer yang efektif, asahlah kemampuan komunikasi dan penguasaan akan manajemen sumber daya manusia.
Melalui tulisan ini mudah-mudahan Anda mendapat inspirasi dan dapat menarik manfaat untuk memilih apakah Anda akan menjadi manajer sukses atau efektif, atau bahkan keduanya - sukses sekaligus efektif.

Manajer yang Membuat Perubahan

Pada 2005 lalu, IBM Global Business Services melakukan survei bertajuk The Global Human Capital Study yang melibatkan lebih dari 300 organisasi di seluruh dunia –31% responden berasal dari kawasan Asia Pasifik. Survei juga diperkuat dengan wawancara terhadap lebih dari 100 Chief Human Resources Officer (CHRO).

Hasil survei tersebut mengkonfirmasikan bahwa sebagian besar organisasi menyadari, manusia dapat memberikan perbedaan kompetitif dan memiliki kemampuan untuk mentransformasikan potensi yang dimilikinya. Namun, agar dapat merespon pasar global yang terus berubah, diperlukan komitmen perusahaan tentang program dan layanan SDM yang menyegarkan, termasuk mentransformasikan peran para manajer.

Manajer memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kepuasan dan komitmen karyawan. Pemahaman ini merupakan dasar dari visi strategis yang lebih besar. Yakni, bagaimana manajer membantu karyawan memahami peran masing-masing, dan membuat mereka tetap terhubung dengan strategi perusahaan, merasa memiliki kemampuan, dihargai dan diperhatikan.

Cara yang baik untuk memulainya adalah memahami apa yang membentuk komitmen karyawan. Idealnya, para manajer harus mampu --dan diberi wewenang untuk-- mendorong faktor-faktor keberhasilan yang mempengaruhi iklim organisasi, yakni:

Kejelasan dan kepemimpinan: Para manajer dituntut untuk bisa membantu karyawan memahami strategi organisasi secara keseluruhan dan bagaimana pekerjaan mereka mempengaruhi keberhasilan perusahaan. Para manajer juga harus memastikan pimpinan senior mengambil tindakan yang perlu – berdasarkan umpan balik dari karyawan– untuk memastikan perusahaan tetap kompetitif.

Tantangan dan Kesempatan: Para manajer harus membantu mengidentifikasi atau memfasilitasi kesempatan bagi karyawan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan berkontribusi terhadap pekerjaan yang menantang, menarik dan berarti.

Pemberdayaan: Para manajer berkewajiban memberdayakan karyawan dalam kemampuan mengambil risiko yang memungkinkan inovasi perusahaan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk memutuskan, bagaimana pekerjaan mereka diselesaikan dan memastikan bahwa mereka memiliki alat-alat dan sumber daya yang dibutuhkan.

Hadiah dan Penghargaan: Para manajer harus menghargai karyawan berdasarkan performa, usaha dan keberhasilan mereka. Hal ini membantu karyawan memahami bahwa pekerjaan mereka mempengaruhi keberhasilan perusahaan.

Fleksibilitas Kerja: Para manajer perlu menyadari pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, serta memberi kesempatan kepada karyawan untuk memanfaatkan sarana yang mendukung hal itu. Dengan menciptakan fleksibilitas untuk menentukan bagaimana, kapan dan di mana mereka bekerja, karyawan akan merasa dapat mengendalikan situasi yang mereka hadapi, tidak terlalu stres dan pada akhirnya menjadi lebih produktif.

Praktik di IBM

Di perusahaan kami, misalnya, pada 2004 silam mengadakan IBM WorldJam, sebuah jam kolaboratif online yang memungkinkan karyawan IBM di seluruh dunia saling berkomunikasi, berkolaborasi dan membuahkan ide-ide yang dapat membuat IBM lebih baik. Hampir 60.000 IBMer melakukan jam tentang berbagai cara mempercepat pertumbuhan yang menguntungkan, meluncurkan inovasi dan merangsang produktivitas.

Beberapa ide muncul dari situ, yang paling populer terkait dengan kepemimpinan dan peran penting manajer dalam membentuk perusahaan. Namun, ide yang dinilai paling baik dari WorldJam2004 adalah tentang menciptakan cara yang konsisten dan sistematis bagi karyawan untuk memberikan umpan balik dan pendapat mereka tentang efektivitas manajer mereka. Para karyawan mengatakan, manajer memiliki peran penting sebab secara langsung mempengaruhi iklim, retensi dan hasil bisnis.

Mereka juga percaya, hubungan manajer-karyawan yang erat dan saling percaya akan membantu membuat nilai-nilai karyawan lebih nyata. Karyawan yakin, manajer membutuhkan bantuan konstruktif agar menjadi manajer yang (lebih) baik. Melalui mekanisme tahunan yang kini sudah memasuki tahun ketiga, karyawan diminta memberikan umpan balik tentang manajer mereka. Feedback ini diproses dan masing-masing manajer akan menerima laporan yang menunjukkan kekuatan dan kelemahan mereka dalam mengelola karyawan.

Perusahaan yang berinvestasi untuk mengembangkan talenta top dan manajer-manajer mereka akan memiliki keunggulan kompetitif yang dahsyat. Para manajer memiliki posisi yang unik dan penting untuk membuat karyawan menyenangi pekerjaan mereka. Kemampuan jajaran manajer untuk berbagi dan menghubungkan strategi perusahaan dengan tim-tim mereka berdampak langsung pada keberhasilan perusahaan. Sungguh pekerjaan yang berat, tapi kita harus mempercayai manajer kita mampu melakukannya sebaik mungkin.

Ditulis oleh Audrey Wardana
(Country Manager Human Resources, IBM Indonesia)
Artikel ini diambil dari www.portalhr.com

Delapan Cara Mengikat Karyawan

Eksekutif.com - Jakarta, Langkah-langkah sederhana yang dapat mengentalkan kesetiaan dan kerjasama di tempat kerja. Semua orang ingin merasakan mendapat pengakuan dan penghargaan di tempat kerja. Apapun pekerjaannya. Kata kuncinya di sini adalah merasakan. Memang, pekerjaan profosional seharusnya bisa mengatasi tendensinya untuk merasakan sesuatu (emosi) dan fokus pada bagaimana bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun, jika seseorang pimpinan bisa dipercaya dan disenangi oleh pegawainya, maka para pegawai itu akan memberi usaha yang lebih. Artinya, yang tak sekedar melaksanakan tugasnya. Merekapun bersedia untuk setia kepada perusahaan karena ikatan emosionalnya dengan pimpinan itu.

Untuk membangun perasaan seperti itu pada bawahan memang bukanlah urusan mudah. Diperlukan rapport (kedekatan hubungan) yang terbentuk dari proses komunikasi verbal maupun nonverbal, yang mana semua itu merupakan bagian dari sifat-sifat kepemimpinan. Kualitas dan keterampilan macam inilah yang menjadi prioritas bagi program pendidikan dan latihan banyak perusahaan. Sebab hasilnya adalah meningkatnya produktivitas. Dengan rapport itu seorang pimpinan menjadi semakin kredibel dan lebih mudah untuk dipercaya.

8 Cara guna membangun hubungan baik, kesetiaan, dan rapport ditempat kerja:
• Cara Berdiri: Perhatikan posisi dan cara berdiri Anda ketika sedang berbicara. Kaum pria condong berdiri berdampingan ketika sedang saling berbicara. Kaum wanita lebih senang saling berhadapan.
• Pusatkan Perhatian ke DIA: Tiap kali anda berbicara maka lampu sorot beralih dari dia (lawan bicara Anda) ke Anda sendiri. Jangan biarkan ini berlangsung lama.
• Jangan Menyentuh Diri Sendiri: Tangan jangan ke mana-mana kalau sedang berbicara. Jangan bermain-main dengan rambut Anda atau meraba-raba perhiasan atau asesori yang sedang Anda pakai.
• Senyumlah Selagi Berbicara: Memberi senyum selagi mendengarkan itu hal biasa.
• Ikuti Bahasa Tubuh Lawan Bicara: Jika dilakukan dengan alami dan hati-hati, mengikuti gerak-gerik lawan bicara termasuk cara efektif untuk berkomunikasi. Misalnya, jika mereka duduknya sambil bersender, maka Anda disarankan untuk juga menyender duduknya.

• Bicara 20% Mendengar 20 %: Biarkan lawan bicara Anda Berbicara mengenai dirinya sendiri....■

Artikel ini dikutip dari Eksekutif.com
Sumber: The Rules Have Changed: American Business Strategies in a Brave New World, Phyllis Davis, Entrepreneur Publications, 2002.