Rabu, 10 Desember 2008

Kreatif Pangkal Sukses

Oleh : Prih Sarnianto

Senin, 24 November 2008
Di era kelimpahan kapital finansial ini, kreativitas menjadi aset paling langka. Inilah kisah para lelaki dan perempuan dalam mewujudkan ide menjadi sukses, di ranah bisnis new economy maupun old economy.

“Inilah Rupert Murdoch masa depan,” ujar Jeff Jarvis seraya menampilkan gambar seorang pemuda berpakaian serampangan dalam sebuah presentasi di hadapan sejumlah eksekutif surat kabar. “Robert Kevin Rose.”

Jarvis lalu menerangkan betapa pemuda selengekan yang lebih suka dipanggil dengan nama tengahnya itu layak diwaspadai. “Kevin sedang membangun kerajaan media dengan cara yang sama sekali baru.” Konsultan media dan penulis What Would Google Do? ini yakin, anak muda tersebut melakukan dengan Internet apa yang dilakukan Ted Turner dengan televisi kabel dan William Randolph Hearst dengan koran. “He’s the media mogul of the future.”

Kita lihat saja. Selain sukses dengan Digg, situs berita/teknologi/cerita-remeh-temeh yang memikat 30 juta pengunjung per bulan, Rose juga memiliki jaringan teve (Revision3), platform komunikasi (Pownce), dan barisan besar penggemar yang fanatik. Semua bisnis itu, tentu saja, berbasis Internet alias perusahaan dotcom. Hebatnya lagi, digg.com, revision3.com ataupun pownce.com itu semua dia dirikan sendiri.

Tak salah kalau khalayak menjuluki Rose, anak muda tampang gaul itu, “Orang Paling Beken di Internet”. Kaum belia yang melek teknologi memujanya bak bintang rock. Media massa memujinya sebagai bintang muda paling terang di langit bisnis dotcom. Business Week bahkan telah menampilkannya sebagai cover story pada 2006.

Ketika memulai Digg, Rose betul-betul mempertaruhkan masa depannya. Pada Oktober 2004 itu, dia membenamkan US$ 1.000 — hampir 10% dari seluruh tabungan, yang seharusnya buat bayar uang muka rumah — untuk mewujudkan idenya. Buntutnya, sang pacar yang marah besar memutuskan hubungan sehingga dia bersumpah, “apa pun jadinya Digg, tak akan mendahulukan bisnis lagi.” Namun, kepalang tanggung, pemuda keras kepala itu menyewa 10 pengembang freelance, masing-masing US$ 12/jam, untuk membuatkan mock-up halaman Web.

Untuk sewa server, Rose sudah mendapatkan deal yang bagus — cuma US$ 99/bulan. Yang masih kurang tinggal nama domain yang sesuai dengan idenya: situs yang menyediakan tempat untuk posting cerita (atau berita), yang bisa “digali” oleh anggota komunitasnya.

Rose mencoba dig.com. “Sial betul, nama itu sudah jadi milik Disney.” Dia lalu coba beli digdig.com senilai US$ 500, tetapi pemiliknya nggak mau jual. Akhirnya, dia mendapat itu tadi, domain digg.com, dengan merelakan tabungannya berkurang lagi US$ 1.200. Lalu, pada 5 Desember 2004, diluncurkanlah situs itu secara resmi. Pada pukul 16.00 hari peluncuran tersebut, 13 ribu pengguna mendaftarkan diri — 8 kali lipat hari-hari sebelumnya.

Pada 2006, atau hanya dalam tempo dua tahun, dengan diluncurkannya Digg versi 3.0 yang dilengkapi suguhan berbau politik, gosip, bisnis dan video — tak hanya tech news seperti sebelumnya — situs newsgathering tersebut, menurut Alexa.com, telah berkibar di posisi ke-24 dalam jajaran Situs Web Terpopuler Amerika, cuma sedikit di bawah situs The New York Time (peringkat ke-19) dan mengalahkan situs Fox News (peringkat ke-62). Setiap hari, lebih dari 1 juta orang berselancar ke digg.com untuk membaca, mendaftarkan diri, atau “menggali” sekitar 4.500 berita yang dikirim oleh komunitas yang terdaftar.

Laiknya situs Web 2.0, orang-orang bukan hanya mendaftar, melainkan juga membuat profil online. Para “digger” ini boleh meng-upload berbagai link ke berita dan blog yang ingin mereka bagi dari portal berita lain, seperti Yahoo! News atau situs media mainstream semacam milik The Washington Post. Para pengguna boleh mengklik tombol “digg it” kalau ingin mendukung sebuah konten atau, sebaliknya, mengklik tombol “bury”. Konten yang memenangi paling banyak “digg” akan tampil di halaman terdepan.

Dari pengguna yang melakukan “digg” secara sukarela itu, 94% adalah laki-laki, lebih dari separuh penggemar teknologi informasi (TI) berusia 20-an sampai 30-an tahun dengan pendapatan minimal US$ 75 ribu/tahun. Menggenggam pengguna dari lapisan demografi yang paling menggiurkan begini, digg.com segera saja kebanjiran tawaran iklan.

Rose memercayakan perolehan iklan kepada Federated Media, perusahaan yang didirikan veteran Silicon Valley John Batelle untuk “menjodohkan” kalangan situs Web dengan para pengiklan. Namun, Rose hanya mau memberikan kapling kecil di bagian atas halaman Web-nya untuk sesuatu yang bisa mengurangi kenyamanan para digger. Dia tak mau peningkatan pengguna terdaftarnya — yang berlipat dua setiap tiga bulan — terganggu. Dengan hanya 17 karyawan, digg.com cuma memerlukan US$ 3 juta/tahun untuk break-even.

Strategi fokus membangun komunitas ini telah terbukti sukses mengibarkan Google Inc. sehingga diadopsi banyak pemain Web 2.0. “Kami sudah punya arah jelas menuju perusahaan yang menangguk laba, dan kami tak kekurangan dana,” ujar Rose kepada Business Week pada pertengahan 2006. “Untuk sekarang, kami nggak perlu khawatir (tentang pendapatan iklan), sejauh bisa terus mencapai target (peningkatan pengguna).”

Kendati demikian, sukses mengundang tantangan tersendiri. Selain tawaran akuisisi yang bertubi-tubi, termasuk senilai US$ 40 juta dari Yahoo Inc., banyak pula peniru. Dua minggu sebelum pelepasan Digg versi 3, AOL meluncurkan situs serupa. Dikomandani Jason Calacanis, pemilik Weblogs yang sebelumnya pernah menawarkan investasi kepada Rose dengan opsi membeli Digg seharga US$ 5 juta — dan langsung ditolak karena mengharuskan Rose melepaskan kendali manajemen — pada 18 Juli 2006 situs yang mengusung nama Netscape itu coba membajak Top 50 kontributor Digg. Hebatnya, tak satu pun digger besar itu menanggapi iming-iming US$ 1.000/bulan dan terus saja mengirim konten ke digg.com yang tak memberi imbalan finansial satu sen pun.

Kegagalan raksasa AOL menggilas Digg dengan kekuatan uang itu membuat kalangan bisnis old media kian khawatir menghadapi kreativitas para pemain muda. Apalagi, entry barrier ke industri media juga telah demikian rendah. Dengan sebuah laptop dan langganan Internet US$ 50/bulan, seorang anak muda yang kreatif sudah bisa mengibarkan diri jadi kaisar media masa depan.

Kalau biaya untuk masuk ke bisnis dotcom masih seperti pada masa-masa awal, Rose juga belum tentu mampu berkibar cepat. Maklum, kelahiran 21 Fabruari 1977 ini bukan berasal dari keluarga kaya. Ketertarikannya kepada hal-hal yang berbau komputer dimulai pada usia 8 tahun, ketika dibelikan oleh ayahnya sebuah PC Gateway 80386 SX 16. Pada 1985 itu, Kevin kecil yang lahir di California dan pernah menetap di Oregon telah tinggal di Las Vegas, Nevada. Tak mengherankan, pada 1992 dia lalu masuk ke Vo-Tech High School untuk belajar komputer dan animasi di kota judi tersebut.

Selulus sekolah menengah, Kevin Rose muda kuliah di University of Nevada, masih di Las Vegas, mengambil spesialisasi computer science. Akan tetapi, terpesona oleh gemerlap bisnis di industri teknologi — yang pada 1990-an sedang boom — dia lalu drop-out pada 1998.

Awalnya, Rose bekerja di Department of Energy, dan ditempatkan sebagai penasihat teknologi di Nevada Test Site. Setelah itu, dia bergabung dengan beberapa bisnis dotcom pemula melalui CMGI Inc. (sekarang telah menjadi ModusLink Global Solution, perusahaan teknologi dan modal ventura yang bermarkas di Waltham, Massachusetts).

Meletusnya gelembung industri dotcom mengantarkan Rose menjadi asisten teknis produksi pada acara The Screen Saver. Maka, pemuda slengekan itu pun mulai muncul di teve, terutama di segmen “Dark Tip” dan di acara Unscrewed with Martin Sargent sebagai “Dark Tipper” — pemberi tip teknologi berupa info tentang aktivitas yang terkait dengan perkembangan industri komputer yang tak banyak diketahui buat khalayak luas. Selanjutnya, dia sering menjadi host pada acara reguler The Screen Saver. Dan, setelah Leo Laporte hengkang dari TechTV pada 31 Maret 2004, Rose menjadi co-host.

Pada 25 Maret 2004, Comcast mengumumkan merger antara G4, kanal gaming milik raksasa industri TV kabel itu, dengan TechTV (inilah yang membuat Laporte hengkang). Rose memilih tetap dengan TechTV, bahkan pada Mei 2004 ikut boyong ke kantor G4 di Los Angeles setelah markas TechTV di San Francisco ditutup. Dia tetap memandu The Screen Saver yang kemudian berubah jadi Attact the Show!, sebuah variety show.

Baru, setahun kemudian, Rose mengumumkan pengunduran diri melalui blognya. Pada Mei 2005 itu, balik ke San Francisco, dia mulai fokus secara penuh memproduksi podcast dan videocast melalui Revision3 yang didirikannya bersama teman-teman di TechTV, Jay Adelson dan David Prager, sebulan sebelumnya.

Awalnya, Rose menjalankan kegiatan yang pada 24 Juli 2003 menghasilkan karya pertama bertajuk thebroken itu sambil tetap kerja di G4TechTV. Hebatnya, thebroken yang menampilkan Dan Huard (juga dari The Screen Saver) sebagai co-host yang dengan santai membeberkan aktivitas yang menyerempet hal-hal ilegal itu — password cracking, rekayasa sosial, dan sebangsanya — pada tahun pertama saja mampu menarik lebih dari 2 juta pengunduh. Sukses inilah yang memantapkan hati Rose untuk meluncurkan Revision3.

Bersama Systm, videocast kedua yang episode pertamanya mengajarkan bagaimana menyulap kamera video yang tak dienkripsi jadi kamera yang justru dimanfaatkan pihak lain buat memata-matai si empunya, thebroken ditayangkan sebagai dua show pertama Revision3. Belakangan, 1 Juli 2005, bersama Alex Albrecht, mantan co-host acara The Screen Saver, Rose meluncurkan podcast mingguan berisi ringkasan berita top yang dikirim para Diggers. Lahirlah Diggnation.

Seperti juga berita dan cerita dalam Digg, nilai berita Diggnation layak dipertanyakan. Ambil contoh episode Diggnation yang ditayangkan beberapa waktu lalu, tentang brothel paling inovatif di dunia, add-on terbaik untuk browser Firefox, dan cerita tentang seorang penggila teknologi (geek) dengan istri yang suka memaksanya merapikan koleksi DVD-nya. “My friends,” katanya menirukan gaya kampanye John McCain ketika menyimpulkan cerita terakhir, “perkawinan hanya akan membawa kita pada hal-hal yang nggak enak seperti ini…”

Pendek kata, Diggnation lebih mirip parodi majalah remaja ketimbang berita. Meski demikian, dipandu dengan gaya urakan tapi santai — Rose dan Albrecht bahkan pernah menenggak bir sampai mabuk ketika memandu — show ini meledak dengan rata-rata 250 ribu pengunduh per episode.

Dengan jumlah pemirsa yang tak kalah ketimbang acara kabel TV biasa, Diggnation mampu mendatangkan fulus melalui sponsorship dan on-air endorsement. Malam itu, Microsoft jadi sponsor utama sehingga, di awal acara, Rose mengumumkan akan membagikan Zune, media player keluaran raksasa TI asal Seattle itu, kepada audiens yang beruntung.

Lebih dari itu, sukses Diggnation-lah yang menjadikan Rose seorang bintang rock. Di setiap penampilan live-nya, biasanya untuk tayangan Revision3, ribuan fans mengelu-elukannya.

Rose dikerubungi banyak cewek? Jelas, dan hal ini dimanfaatkannya buat gonta-gati pacar. Namun, mayoritas fans bintang dunia maya ini justru para cowok, terutama kalangan mahasiswa penggila TI, yang tak kalah histeris meneriakkan namanya — “Keeevviin.., Keeeevviiiin…!”

Sukses dengan Revision3, Rose meluncurkan Pownce. Berkat kharisma bintang sang pendiri, situs yang dirancang apik ini segera menarik lebih dari 150 ribu kawula muda untuk menggunakannya sebagai media berbagi musik, video dan link.

Lagi-lagi, Pownce yang gabungan antara jejaring sosial dan micro-blogging itu kebanjiran penggemar. Ketika diluncurkan dalam bentuk beta, penggemar hanya bisa bergabung kalau ada “undangan.” Undangan tersebut demikian diminati sehingga laku dijajakan melalui situs lelang, termasuk eBay!

Dengan suksesnya Pownce, lengkap sudah kerajaan media milik Rose — ada koran online, jaringan teve online, platform komunikasi online. Jangan heran, pada November 2008, Rose terpilih lagi jadi cover story majalah bisnis Inc.

Dorongan kuat apa yang membuat seorang Kevin Rose, yang waktu kecil aktif di Boy Scout of America itu, sampai nekat mempertaruhkan tabungan yang tak seberapa di lahan bisnis hingga ditinggal oleh Sarah Lane, seorang gadis yang menurut para sobatnya adalah “the love of his life”? Ayah Kevin yang akuntan dan ibunya yang hanya ibu rumah tangga biasa tak pernah mengajarinya berwirausaha.

Ceritanya berawal dari pertemuan Rose, sebagai pewawancara The Screen Saver, dengan Steve Wozniak, salah satu pendiri Apple Computer yang sering jadi tamu di show tentang TI itu. Sewaktu suatu hari menemani Wozniak makan siang, dia banyak tanya tentang tempo doeloe, akhir 1970-an ketika Woz menciptakan tonggak sejarah.

Rose merasa jealous dengan posisi luar biasa Woz dalam sejarah Silicon Valley. “Inilah orang yang betul-betul melakukan sesuatu,” pikirnya, “sementara aku cuma semacam visual stenographer, semacam pencatat sejarah…”

Malamnya, ketika pulang ke rumahnya di Santa Monica, Rose langsung duduk di depan komputer. Seperti malam-malam sebelumnya, dia mengeksplorasi sudut-sudut terjauh dunia maya, mengais gosip tersembunyi, menggali berita yang tak mungkin dilirik para redaktur umumnya. Dan itu semua tak gampang, karena tak ada titik petunjuknya.

Rose berpikir keras. Lalu, tiba-tiba melintas ilham di benaknya. Oh my God. I could do this SO MUCH BETTER… Maka, itu tadi, lahirlah Digg.

Buat mengelola bisnis yang masih bayi ini, Rose minta tolong Jay Adelson. Yakin dengan model bisnis Digg, pendiri perusahaan pusat data Equinix yang jadi sobat dekat Rose semenjak diwawancara di The Screen Saver pada 2003 ini merelakan waktunya untuk jadi CEO perusahaan pemula itu, mondar-mandir dari New York (tempat ketiga anaknya tinggal) dan San Francisco. Adelson melihat Rose sebagai dirinya sewaktu muda.

Pada 2004 itu, pasca-Dotcom Bubble, lanskap industri telah berubah. Para pemodal ventura sudah tak sesakti sebelumnya. Di AS saja, jumlah mereka telah meroket jadi 866 dari hanya 300, dua dasawarsa sebelumnya. Sumber dana baru juga bermunculan, termasuk angel investor dan mitra strategis. Di sisi lain, jumlah perusahaan pemula justru menciut walau valuasi deal melejit hampir 100% dibanding pada 2003. Hal lain yang berbeda adalah, untuk masuk ke bisnis dotcom tak diperlukan lagi modal gede.

Memasuki musim semi 2005, Adelson sering ditelepon para pemodal ventura, dan tak dia tanggapi. Sang CEO ingin Digg lebih berkibar dulu seraya menunggu sampai betul-betul perlu dana cukup besar. Sementara, dia hanya mau menerima dana kecil dari teman dekat, seperti Chris Hoar. Pendiri Textamerica, situs yang memudahkan posting foto dari telepon seluler ke blog, ini langsung menyerahkan cek US$ 50 ribu ketika pada akhir 2004 bertemu Rose — dan dananya baru dicairkan pada Februari 2005.

Ketika Rose perlu beli server, Adelson juga hanya mau menerima beberapa ratus ribu dolar dari kalangan angel investor, termasuk Marc Andreessen (pendiri Netscape) dan Reid Hoffman (CEO situs jejaring sosial LinkedIn.com). “Kami tak mau jadi tiket orang lain buat masuk ke pasar,” ujar Adelson.

Pertemuan dengan pemodal ventura baru dilakukan pada Agustus 2005, di San Mateo. Di situ, Rose dan Adelson hanya minta dana US$ 1 juta atau US$ 2 juta — recehan bagi kalangan pemodal ventura. Anehnya, David Sze dari Greylock Partners setuju saja memberikan dana US$ 2,5 juta yang masih dibagi pula dengan investor lain, Omidyar Network milik pendiri eBay Pierre Omidyar. Dengan begitu, Rose yang menguasai 30%-40% saham Digg plus porsi yang lebih besar di Revision3 dan Pownce masih pemilik mayoritas.

Di era dana yang melimpah ini, ide dan kreativitas memang telah jadi modal paling berharga. Bahkan di industri yang mutlak memerlukan dukungan sebuah korporasi raksasa pun, aset yang langka itu tetap jadi penentu keberhasilan bisnis. Simak saja kisah sukses Seth MacFarlane.

Berasal dari keluarga guru sekolah menengah, MacFarlane membuat film berjudul The Life of Larry ketika menyelesaikan pendidikannya di bidang animasi pada Rhode Island School of Design. Tanpa sepengetahuannya, dosen pembimbingnya di RISD mengirimkan film kartun tersebut ke Hanna-Barbera sehingga dia direkrut oleh studio yang terkenal dengan serial Tom & Jerry itu.

Di Hanna-Barbera, MacFarlane muda menjadi animator dan penulis untuk serial Cartoon Cartoons milik Cartoon Network, dan membantu produksi Johnny Bravo, Cow and Chicken dan Dexter’s Laboratory. Selain itu, dia juga menciptakan dan menulis kartun pendek, Zoomates, buat Oh Yeah! Cartoon yang bernaung di bawah bendera Frederator Studio.

Pada 1996, MacFarlane membuat sekuel The Life of Larry berjudul Larry and Steve, yang menampilkan karakter setengah baya bernama Larry dan anjing pintarnya (yang dapat bicara), Steve. Ketika film pendek ini ditampilkan oleh Cartoon Network sebagai bagian dari World Premier Toons, para petinggi Fox tertarik. Mereka segera mengontrak kelahiran Kent, Connecticut, pada 26 Oktober 1973, itu untuk menciptakan serial berdasarkan karakter dalam The Life of Larry dan Larry and Steve. Hasilnya: Family Guy, yang mengudara untuk kali pertama pada 31 Januari 1999.

Maka, pada usianya yang baru 24 tahun, jadilah MacFarlane produser eksekutif teve termuda. “Sekitar 6 bulan saya begadang — tak punya kehidupan. Kerja saya cuma nggambar seperti orang gila di dapur buat menyelesaikan pilot project itu,” tuturnya bertahun-tahun kemudian ketika diwawancara The New York Time.

Akan tetapi, kerja keras tersebut memberikan hasil yang memadai. Dengan penjualan DVD yang tinggi dan dukungan fans yang loyal, Family Guy yang lalu melampaui popularitas The Simpsons itu menggelembung jadi sebuah bisnis senilai US$ 1 miliar. Bagian yang didapat MacFarlane tentu cukup besar. Maklum, selain sebagai pencipta, artis serba bisa ini juga jadi pengisi suara beberapa karakter utama — Peter Griffin, Stewie Griffin, Brian Griffin, dan Glenn Quagmire serta Tom Tucker dan anaknya, Jake, plus beberapa karakter tambahan. Apalagi, kemudian dia lalu menciptakan film lain, American Dad dan The Cleveland Show, drama musikal Family Guy: Live in Vegas (bersama komposer Walter Murphy), serta permainan video Family Guy (pada 2006).

Rahasia sukses Family Guy? Kemampuan MacFarlane memarodikan sesuatu yang telah dikenal baik khalayak luas, termasuk film Star Wars dan Star Trek. Salah satu episode baru yang mengesankan adalah cerita tentang Brian dan Stewie yang terlempar ke Jerman era Perang Dunia II. Pada 1939 itu, kedua karakter ini mencuri seragam SS, pasukan elite yang loyal kepada Adolf Hitler. Ketika mereka kembali ke AS masa kini, dari kantong salah satu seragam militer pendukung Nazi tadi ditemukan… pin McCain/Palin.

MacFarlane yang pendukung Partai Demokrat memang supraliberal. Pandangan politik ini tecermin kuat pada Family Guy sehingga serial tersebut sempat dua kali dihentikan penayangannya oleh Fox yang terkenal konservatif. Hanya DVD-nya yang laris bak kacang goreng dan dukungan fanatik para fans yang membuat Fox menayangkannya kembali. Perusahaan yang tergabung dalam konglomerasi media Murdoch itu bahkan “meminta maaf” dengan memberikan kontrak US$ 100 juta buat pemenang dua Emmy Award dan beberapa penghargaan lain yang masih betah melajang itu.

“Salah satu dampak positif Family Guy sering dihentikan penayangannya adalah, kami bisa meremajakan staf penulis yang ada,” ujar MacFarlane kalem.

Kreativitas hanya bisa disulap jadi sukses bisnis kalau menghasilkan produk yang inovatif?

Tidak juga. Sebab, salah satunya, sukses bisnis tak melulu ditentukan oleh faktor produk, tapi juga pemasaran, penjualan, dan banyak lagi. Keberhasilan seorang (mantan) ibu rumah tangga biasa mendirikan sebuah kerajaan bisnis kosmetik dengan 500 ribu lebih tenaga penjual di 29 negara yang mendatangkan pendapatan lebih dari US$ 2 miliar/tahun membuktikan hal ini.

Ketika perempuan itu, Mary Kay Ash, mendirikan Mary Kay Cosmetics Inc., pada 1963, dia tak punya produk yang dikembangkan sendiri. Resep produk pertamanya, krim pelembut kulit, dia beli dari seorang putri penyamak kulit. Dia lalu menyewa pabrikan lokal untuk memproduksi krim tersebut dan mendandani sebuah toko kecil di Dallas, Texas, untuk dijadikan kantor pemasaran. Untuk ini saja dia sudah menguras tabungannya, US$ 5 ribu.

Dibantu sang suami yang mengurusi masalah keuangan, Ash merekrut 9 temannya sebagai barisan tenaga penjualan. Sialnya, sebulan sebelum bisnis diluncurkan, suaminya meninggal. Namun, tak menggubris pengacara yang menasihati untuk membatalkan Mary Kay, dibantu putra sulungnya, Richard Rogers, perempuan yang waktu itu berusia 40-an tahun ini jalan terus.

Hasilnya: dalam tempo tiga setengah bulan sejak beroperasi pada 13 September 1963, penjualan Mary Kay mencapai US$ 34 ribu dan, pada akhir tahun pertama, melejit jadi US$ 198 ribu. Lalu, setahun kemudian, dengan barisan penjual yang menggelembung jadi 3.000 orang, penjualan meroket jadi US$ 800 ribu.

Rahasia sukses Mary Kay? Bisa dipastikan bukan produk, melainkan strategi penjualannya yang kreatif.

Sejak didirikan, Ash telah mengayun strategi yang unik di antara bisnis penjualan langsung yang ada. Alih-alih menggunakan cara penjualan yang agresif, high-pressure sales pitches, dia menginstruksikan barisan penjual — semua perempuan dan disebut sebagai “konsultan kecantikan” — untuk menunjukkan kepada para perempuan (yang menjadi target pasar) bagaimana mereka bisa menggunakan produk Mary Kay buat meningkatkan penampilan. Begitu para perempuan tersebut melihat hasilnya, produk Mary Kay akan laku dengan sendirinya. Waktu itu, menurut Ash, belum ada perusahaan yang menggunakan pendekatan begini.

Lalu, begitu produk tersebut laris-manis, kian banyak perempuan yang ingin jadi konsultan kecantikan Mary Kay, termasuk dari kalangan pengguna. Alasannya sederhana. Karena, laiknya sistem penjualan langsung, sebagai tenaga penjual mereka mendapatkan komisi lumayan — bahkan Ash memastikan komisi tersebut lebih dari sekadar lumayan.

Ash sendiri awalnya terlibat langsung dalam menjajakan produk Mary Kay. Akan tetapi, dengan kian menggelembungnya barisan penjual, dia lalu memfokuskan diri untuk memotivasi para konsultannya itu. Dia menyuntikkan antusiasmenya yang menyala-nyala dengan sederetan slogan, seperti:
“I created this company for you.”
“At Mary Kay you are in business for yourself, but not by yourself.”
Lebih dari itu, Ash lalu juga menghadiahi para konsultan topnya dengan perhiasan berlian, liburan bintang lima dan, yang membuatnya unik, pink Cadillacs — mobil mewah merek Cadillac berwarna merah muda yang suprafeminin. Dengan srategi luar biasa ini, Ash berkibar jadi jutawan ketika Mary Kay diluncurkan ke bursa saham pada 1968.

Memasuki 1983, penjualan Mary Kay telah melangit jadi US$ 324 juta. Akan tetapi, dengan bertumbuhnya bisnis, pemegang saham yang juga kian banyak mulai mempertanyakan, apa masih perlu bagi-bagi “mobil warna pink yang norak itu” kepada para konsultan.

Sadar betul bahwa “mobil warna norak” tadi merupakan tulang punggung dari strategi peningkatan motivasi dan simbol nasional perusahaan, Ash langsung memutuskan untuk “nggak butuh dana publik kalau itu malah membahayakan fondasi paling dasar bisnisku.” Tak menggubris advis para pakar, pada 1985 dia memborong seluruh saham Mary Kay dan membawanya jadi perusahaan private lagi.

Langkah ini terbukti tepat. Memasuki 1993, penjualan Mary Kay menembus US$ 1 miliar dan berkibar jadi perusahaan penjualan langsung produk perawatan kulit terbesar di AS.

Dari mana Ash menemukan strategi ampuhnya?

Dilahirkan sebagai Mary Kathlyn Wagner pada 12 Mae 1918 di Hot Wells, sebuah kampung di Texas, perempuan ini sempat kuliah di University of Houston sampai 1943, ketika dia menikah dengan Ben Rogers. Pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian, sehingga buat menghidupi ketiga anaknya dia lalu bekerja di Stanley Home Products, perusahaan penjualan langsung perkakas dan produk rumah tangga asal Houston. Pekerjaan sebagai tenaga penjual ini dilakoninya hingga 1952, ketika dia menerima pekerjaan sebagai Direktur Pelatihan Nasional World Gift Co., perusahaan penjualan langsung yang bermarkas di Dallas.

Dalam tempo 10 tahun, Mary Kay berhasil mengembangkan sayap distribusi World Gift ke 43 negara bagian hingga dia menduduki posisi direktur penjualan. Meski demikian, saran-sarannya kerap dipatahkan oleh direksi lain yang lelaki dengan komentar semacam, “Oh, Mary Kay, you’re thinking just like woman” — suatu hal yang membuatnya tersinggung berat. Maka ketika pada 1962 kejadian semacam di Stanley Home terjadi — kali itu seorang lelaki yang pernah dia beri pelatihan dijadikan supervisornya dengan gaji dua kali lipatnya — Mary Kay lalu minta pensiun dini.

Waktu itu, Mary Kay berniat hendak menulis buku buat membantu kaum Hawa menghindari kejadian yang tak menyenangkan di dunia kerja yang didominasi kaum Adam. Untuk itu, dia menyusun dua daftar. Pertama, berisi ringkasan pengalaman negatif yang dialaminya. Kedua, deskripsi rinci kualitas yang dia pikir ideal tentang sebuah bisnis — “perusahaan impian” bagi kaum peerempuan yang memiliki keluarga. Termasuk ke dalam ideal ini adalah memperlakukan setiap orang dengan setara, memberikan promosi berdasarkan prestasi, memilih produk berdasarkan kinerja penjualan dan marketability ketimbang sekadar profitability.
Ketika membaca ulang daftar kedua ini, Mary Kay terhenyak, “Mengapa aku cuma bikin teori tentang perusahaan impian? Mengapa nggak bikin aja sendiri?” Perempuan itu tahu betul, dia punya pengalaman luas di bisnis penjualan langsung.

Ketika suami pertamanya dikirim ke garis depan, Mary Kay muda sudah membuktikan kemampuan jualnya. Waktu itu, dia menerima tantangan dari seorang perempuan tenaga penjual door-to-door — kalau mampu menjual 10 set ensiklopedia, perempuan itu akan memberinya satu set secara gratis. Nah, dia mampu menghabiskan 10 set itu dalam waktu satu setengah hari. Sebuah prestasi luar biasa mengingat 10 set adalah kuota tiga bulan untuk penjual paling top di perusahaan ensiklopedia tadi!

Bakat yang ditemukan secara tak sengaja inilah yang membuat Mary Kay sukses sebagai penjual, baik di Stanley Home maupun World Gift. Akan tetapi, dia ingat betul, banyak temannya jadi marah karena dia berhasil membujuk mereka membeli barang yang tak betul-betul mereka butuhkan. Sebab itu, kalau mau buka bisnis sendiri, pikirnya, “Yang dijajakan haruslah produk yang dia percaya betul memberi kegunaan kepada pelanggan.”

Pada 1963, Mary Kay menemukan produk yang dia cari tak jauh-jauh — krim penghalus kulit buatan salah satu kenalannya, Ova Heath Spoonemore, yang sudah dia gunakan selama 10 tahun. Produk tersebut dikembangkan oleh ayah Spoonmore yang tinggal di Arkansas, J.W. Heath, konon hasil modifikasi dari larutan penyamak kulit. Lalu, dengan “mengorangkan” barisan penjual yang juga yakin bahwa produk yang mereka jajakan betul-betul bagus dan bermanfaat, berkibarlah Beauty by Mary Kay yang hanya bermodal US$ 5 ribu menjadi Mary Kay Cosmetics yang membukukan penjualan US$ 2 miliar lebih.

Buat menjaga antusiasme barisan penjual agar tetap tinggi, Mary Kay sang CEO yang pada 1966 menikah untuk ketiga kalinya dengan Melville J. Ash — dan semenjak itu dikenal sebagai Mary Kay Ash — betul-betul memanjakan orang-orangnya itu. Caranya? Bukan sekadar dengan fulus atau hadiah mahal, tetapi juga… pengakuan, recognition.

Sejak dini, Ash menghadiahi perhiasan berlian kepada top saleswoman dalam sebuah gathering yang dihadiri seluruh orangnya. Tradisi ini kemudian berkembang jadi acara tahunan. Walau harus membayar biaya transportasi sendiri plus biaya pendaftaran (yang pada 1993 saja sudah US$ 125), puluhan ribu “konsultan” Mary Kay setiap tahun berbondong ke seminar di Dallas dari Bakerfield, Wichita, Fayetteville, Grosee Pointe, dan kota-kota kecil lain yang jauh, bahkan di luar Texas. Beberapa ribu di antaranya mengendarai pink Cadillac yang jadi simbol sukses.

Dalam acara selama tiga hari itu, Ash menyematkan sendiri mahkota buat Queens of the Seminars — mereka yang membukukan rekor penjualan atau rekrutmen tertinggi tahun itu. Penjual tersukses, seperti Anne Newbury, diperkenalkan melalui klip film seperti, kalau sekarang, ketika Partai Demokrat menominasikan Barack Obama.

Selama 24 tahun NewBury telah mendatangkan penjualan US$ 2 juta. “Saya nggak tahu bagaimana kalian,” katanya di podium seperti dicatat Fortune pada 1993, “tapi sejak muda saya selalu memimpikan punya Cadillac. Dan saya mendapatkan Cadillac pertama saya dengan gampang…” Seluruh audiens langsung menyambut dengan “Ahhh…” Mereka sangat menghargai prestasi Newbury, sebab mereka tahu perempuan berusia 52 tahun itu memulai kariernya sama dengan mereka — dari paling bawah.

Kompensasi emosional seperti yang didapat Newbury, Ash paham betul, tak kalah penting ketimbang duit. Bahkan, buat seorang seperti Newbury yang telah mendapatkan banyak komisi, kepuasan emosional mungkin lebih penting. Pada seminar seperti itu, semua mendapat apa yang berhak didapat. Tak ada yang disembunyikan. Jaket dengan warna yang menunjukkan prestasi, mahkota, badge, emblem.

Direktur Penjualan Deborah Robina mengenakan gelang emas bertatahkan 32 berlian membentuk kata “.000.000.” Angka itu menunjukkan berapa besar dia dan barisan konsultan di bawahnya membukukan penjualan pada tahun sebelumnya — dan dia bangga dengan pengakuan tersebut. Konsultan tingkat di bawah mengenakan pin metal bertuliskan “.000.” Dengan begitu, setiap orang segera tahu dengan siapa dia berhadapan.

Namun, semua mendapat perhatian besar dari Ash yang selalu memanggil mereka dengan “my child(ren)” sambil memandang dalam ke mata lawan bicara. Perlakuan seperti inilah yang membuat mereka bertekad, suatu saat yang tak kelewat lama mereka akan memberikan penjualan tertinggi buat Ash sang Ibunda. Apalagi mereka tahu betul, ketika anak Shirley Hutton, salah satu dari mereka, dirawat karena batu ginjal, Ash dengan penuh perhatian mengunjungi rumah sakit, bahkan sampai dua kali.

Dalam seminar seperti itu, para suami dan anak-anak diberi kesempatan berdarmawisata, selain presentasi khusus. “Tugas para suami,” orang-orang Mary Kay meyakinkan, “adalah mendukung istri mereka berprestasi sebagus mungkin.”
Kaum Adam itu tidak merasa tak nyaman dengan keadaan yang terbalik dibanding yang berlaku umum?

Mereka juga tersihir oleh karisma Ash yang selalu meyakinkan bahwa perempuan diciptakan setara dengan lelaki — bukan buat digaji 74¢ untuk setiap $ 1 yang diterima lelaki. “I promise you your wife will be making three times the money of her corporate job,” ujarnya. “Plus, kalian akan mendapat keuntungan lain dari cara hidupnya yang positif karena menempatkan Tuhan pada proritas pertama, keluarga kedua, dan karier ketiga.”

Bagaimana dengan kaum perempuan yang tak punya karisma cukup tinggi, apakah mereka berpeluang menyulap kreativitas menjadi bisnis besar? Robin Chase membuktikan, tanpa bakat alami seorang Mary Kay, di tangan seorang perempuan yang mendahulukan kepentingan keluarga, kreativitas tetap bisa membuahkan sukses.

Kisah sukses Chase berawal ketika ibu tiga anak yang sedang cuti di luar tanggungan perusahaan itu bertemu dengan Antje Danielson, yang sedang mengambil program post-doctoral di Harvard, di sekolah anak-anak mereka. Pada 1999 itu, Danielson yang asal Jerman itu mengemukakan ide tentang bisnis sharing mobil yang dia lihat ketika kuliah di Berlin.

Danielson ingin mendirikan bisnis semacam itu dan sedang berupaya menghimpun dana, tetapi terhambat oleh kehamilannya yang sudah memasuki usia 6 bulan. Maka, dia menawari Chase untuk jadi mitranya. Pikir Chase waktu itu, “What a brilliant idea! Untuk bisnis semacam inilah gunanya Internet.”
Konsep bisnis itu sekaligus bisa jadi solusi sempurna masalah yang dia hadapi. Tinggal di Cambridge, Massachusetts, dengan seorang suami dan tiga anak, dia butuh satu mobil lagi tapi enggan memanggung biaya mobil kedua dan menambah polusi ke lingkungan. Selain itu, telah bosan bekerja di perusahaan orang sejak mendapatkan gelar M.B.A. dari Sloan School of Management, MIT, pada 1986, dia ingin benar memiliki bisnis sendiri.

Maka, setelah melakukan riset kecil-kecilan, pada Juni 2000 duo Chase-Danielson meluncurkan Zipcar. Akan tetapi, armada kecil mereka baru mulai beroperasi pada 2001 di kawasan Boston dan Cambridge. Saat ini, armada perusahaan berlogo bulatan hijau dengan huruf “Z” putih di tengah ini bukan saja telah tersebar di kota-kota besar AS, tetapi juga di Vancouver, Toronto (Kanada) dan London (Inggris).

Harus diakui, Chase hanya mengantarkan Zipcar sampai Februari 2003. Perhatiannya yang kelewat tinggi terhadap pencinta lingkungan membuatnya sulit membesarkan start-up itu menjadi perusahaan besar. Maka, ketika tak lagi menguasai saham mayorits, dengan legowo dia diganti oleh profesional yang lebih andal, Scott Griffith, mantan eksekutif Boeing Co.. Kendati demikian, perempuan inilah yang, boleh dibilang, sendirian menyemaikan ide menjadi bisnis dengan kreativitasnya.

Chase itulah yang membuat model bisnis awal untuk mengatasi ketiadaan parkir gratis di AS, menyiasati harga mobil yang lebih tinggi ketimbang dugaan awal, mengupayakan pendanaan awal dari beberapa sumber. Dia pula yang menemukan betapa konsumen AS enggan membayar fee tahunan terlalu tinggi, tapi rela merogoh kocek lebih dalam untuk sewa mobil jam-jaman.

Chase pula yang memformulakan layanan yang nyaman — biaya sewa yang US$ 8-12 (tergantung pada jenis mobil) sudah termasuk bensin, sewa parkir, asuransi, dan sewa kendaraan itu sendiri. Bahkan dia, dibantu Ray Russell (suaminya), yang menciptakan teknologi propretiery buat menjalankan model bisnis Zipcar di mana penyewa dapat memesan mobil untuk waktu (hari, jam, durasi) tertentu melalui Internet, datang ke pul terdekat dan masuk ke mobil yang dipilihnya tersebut hanya dengan menempelkan kartu pada chip di dekat kaca depan, membeli bensin dengan menunjukkan kartu yang tersedia di dalam mobil, dan mengembalikan lagi mobil ke pul.

Kreativitas Chase terbukti bahwa setelah lengser dari kursi CEO Zipcar, dia berhasil mendirikan dan menjadi CEO GoLoco.org, yang mengombinasikan online carpooling dengan social networking. Selain itu, dia juga mendirikan Meadow Networks, perusahaan konsultasi transporasi, dan mengelola Networkd Musings, blog dengan topik bahasan peubahan iklim, transportasi dan jaringan nirkabel.

Apakah Chase yang tak mampu mengemudikan Zipcar ke level selanjutnya itu terbilang sukses?

Ya. Di luar Zipcar, ventura Chase memberikan hasil seperti yang diharapkan. Kegagalan di Zipcar itu, sekali lagi, lebih karena perhatiannya yang begitu besar terhadap isu lingkungan sehingga dia memasarkan bisnisnya sebagai solusi terhadap masalah polusi udara dan semacamnya (walau titik pandang ini valid).

Selain itu, reputasi Chase sebagai orang yang kreatif juga diakui khalayak. Dia laris sebagai pembicara di berbagai forum.


Riset: Siti Sumariyati

Artikel ini diambil dari www.swa.co.id
URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=8363

Ebook Just DUIT

Berikut ini saya upload lagi ebook dengan judul Just Duit karangan Yohanes Lim. Silakan diambil di http://www.4shared.com/file/75302784/ef61467a/Just_Duit-Johanes_Lim.html

Jumat, 05 Desember 2008

Ebook Sukses Tanpa Gelar

Ebook Sukses Tanpa Gelar bisa menjadi inspirasi kita dalam menjalani hidup ini. Silakan didownload di http://www.4shared.com/file/74685673/ac424c5e/SuksesTanpaGelar-AndreasH.html  Ebook ini gratis...tis..tiss...

EBook-The Secret

Bagi anda-anda yang menyukai ebook, dibawah ini bisa didownload buku The Secret dalam bahasa Indonesia. Ebook ini saya dapatkan secara gratis sehingga sekarang saya bagikan juga secara gratis. Silakan didownload di http://www.4shared.com/file/74683099/f3f2aba0/thesecret.html

Selamat membaca.

Rabu, 19 November 2008

TEAM ABAD 21: Kelompok Serigala

Oleh : Ningky Munir
Dosen Sekolah Tinggi Manajemen PPM

Wolf Credo
• Respect the elders
• Teach the youngs
• Cooperate with the pack
• Play when you can
• Hunt when you must
• Rest in between
• Share your affections
• Voice your feelings
• Leave your mark
(The Wisdom of Wolves, 1995)
Andrew Grove dari Intel Cooperation pernah mengatakan bahwa perusahaan masa kini tidak mempunyai pilihan, selain harus beroperasi di dunia penuh perubahan, yang dibentuk oleh globalisasi dan revolusi informasi. Cuma ada dua opsi: beradaptasi atau mati. Kita mengetahui bahwa adaptasi memerlukan fleksibilitas dan kemampuan belajar yang tinggi. Dalam The Living Company (1997) yang ditulis Arie de Geus, perusahaan-perusahaan yang berhasil untuk terus hidup selama lebih dari lima bahkan sepuluh dekade mengandalkan kelompok untuk melakukan adaptasi. Kelompok menjadi pilihan perusahaan yang ingin menjadi lebih fleksibel karena proses pengambilan keputusan didorong ke garis depan. Kemampuan belajar perusahaan pun meningkat, melalui pemberdayaan intelektual dan kreativitas karyawan. Seperti apa bentuk kelompok yang pas bagi perusahaan masa kini?
Menurut Towery, seorang ahli serigala dalam The Wisdom of Wolves (1995), kelompok serigala adalah kelompok yang mempunyai kinerja tinggi. Dan seperti perusahaan-perusahaan masa kini, ternyata kelompok serigala juga tidak dapat mengantisipasi kejadian. Namun kelompok serigala mengatasinya dengan membangun fleksibilitas dan kemampuan bereaksi dengan cepat untuk menghadapi situasi-situasi tak terduga. Oleh sebab itu, tampaknya kelompok serigala perlu dipelajari sebagai upaya membangun kelompok kerja yang pas untuk abad ini.
Sikap. Perilaku kelompok serigala didasari oleh satu pertanyaan: Apa yang terbaik bagi kelompok?. Serigala tidak akan berlari memburu mangsanya, menyalak, menggonggong, dan menggeram tanpa tujuan. Mereka memiliki perencanaan strategik yang dieksekusi melalui komunikasi terus menerus di antara anggota. Bila saaatnya tiba, masing-masing anggota tahu persis apa perannya dan mengerti persis apa yang diharapkan oleh kelompok darinya. Semua yang terbaik, untuk kelompok. Serigala tidak bergantung pada nasib baik. Kohesi, kerjasama, dan pelatihan menentukan apakah kelompok bakal hidup atau mati.
Begitu juga manusia, seharusnya. Team yang sukses mempunyai perspektif yang benar dan sikap yang pas. Selalu memvisualisasikan sukses. Selalu optimis. Motivasi terbesar tidak selalu datang dari uang yang melimpah, promosi, atau tepuk di bahu. Kerja keras dan sukses, seringkali datang dari diri sendiri
Keunikan. Jumlah anggota kelompok serigala berkisar antara lima hingga delapan ekor. Para serigala itu sangat berhati-hati untuk tidak meniru satu sama lain. Setiap anggota menduduki posisi tertentu, saling menghormati keberbedaan yang dimiliki oleh anggota lain. Pada kelompok serigala, tidak pernah satu anggota mengambil alih peran dan tanggung jawab anggota lainnya. Terlepas dari seberapa gesit atau lamban, besar atau kecil, kuat atau lemahnya dia. Bila ada yang tidak berperan sesuai dengan tuntutan, maka kelompok menjadi timpang dan akhirnya mati.
Bila dianalogikan dengan kelompok kerja manusia di perusahaan, maka setiap anggota kelompok harus menghormati keunikan anggota lainnya. Bukannya memaksa anggota yang berbeda itu menjadi sama dengan yang lain. Masing-masing anggota harus berkontribusi pada kelompok melalui bakat dan kekuatan dirinya. Dengan mengekspresikan keunikan dirinya, serta menghormati dan mendukung keunikan yang lain, maka kelompok akan menjadi kuat, tak tergoyahkan. Seperti kelompok serigala, setiap anggota harus menjadi aset bukan liability yang mesti ditanggung bersama. Setiap orang mempunyai tanggung jawab dan setiap tanggung jawab adalah vital bagi kesuksesan proyek.
Komunikasi. Modal utama di balik kesuksesan suatu team adalah anggotanya,- bukan manajer -, yang bertanggung jawab atas tugasnya, memantau kinerjanya masing-masing, dan mampu cepat mengubah cara kerjanya bila dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah atau bila ada perubahan situasi. Dalam bekerja, para anggota team aktif berkomunikasi. Ini penting, karena sukses team bergantung pada efektivitas komunikasi serta pertukaran pengetahuan dan pengalaman di antara anggota.
Untuk mengeksekusi strateginya, serigala aktif berkomunikasi. Seperti manusia, serigala pun tidak mengandalkan satu bentuk komunikasi. Mereka melolong, menggonggong, menyalak, mendengus, menggeram, menjilat, menunjukkan sikap tubuh dominan atau tunduk, menggerakkan bibir, mata, dan ekspresi wajah untuk menyampaikan pesan. Seperti manusia juga, mata digunakan untuk komunikasi yang paling sensitif. Dalam suatu perburuan, bahkan gerakan tak kentara dari otot mata serta perubahan besar pupil mata sangat menentukan koordinasi antara anggota.
Kreativitas dan Kerja Keras. Dalam kelompok serigala, hampir selalu ada serigala Omega. Biasanya serigala Omega adalah serigala jantan dan bertubuh relatif kecil dibandingkan anggota yang lain. Kelompok selalu menempatkan serigala Omega ini di urutan paling akhir dari segala-galanya, terutama dalam urutan hak untuk makan. Bila kelompok bisa bertahan hidup, serigala Omega akan cenderung menjadi sangat tahan banting. Anggota yang lain pun semakin menghargainya.
Biasanya setelah sekian lama mengikuti kelompok dengan segala ketabahan dan kerja keras, serigala Omega akan memisahkan diri dan berkelana sendirian. Beberapa waktu kemudian, bekas serigala Omega tersebut akan bergabung dengan kelompok lain, bertemu dengan pasangannya, dan membangun kelompoknya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa anggota yang terlemah pun dari kelompok harus mempersiapkan diri tidak saja untuk menyandang tanggung jawab pribadi, namun siap untuk memimpin kapan pun
Pada team manusia, sering terbukti bila manajer menghambat kreativitas karyawan, maka karyawan tersebut akan semakin tidak mampu. Menurut Henry Mintzberg, pakar manajemen strategi dalam Strategy Safary (1998), pemisahan antara kegiatan berpikir dan kegiatan pelaksanaan seperti pada praktek penyusunan strategi di perusahaan-perusahaan membuat manajer dan karyawan kehilangan kemampuan untuk menggagas dan memberikan tanggapan dengan cepat. Ketika para manajer meningkat posisinya menjadi perencana strategik, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Bermain. Manusia seringkali menggunakan istilah "bekerja habis-habisan, bermain habis-habisan". Bagi kelompok serigala, pernyataan tersebut pas sesuai dengan apa yang dilakukannya. Serigala-serigala muda adalah makhluk yang sangat gembira. Kerjanya hanya bermain dan bermain, bahkan seringkali bermainnya keterlaluan. Bermain merupakan sarana untuk mengasah keterampilan berkomunikasi, bekerjasama, dan berburu, yang diperlukan untuk mencari makan dan bertahan hidup. Serigala menjadi lebih kuat secara fisik dan mental, melalui kegiatan bermain. Namun bermain juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain. Yaitu sebagai metode praktis untuk menentukan peringkat di antara anggota kelompok. Semacam kegiatan assessment pada manusia.
Kegagalan. Walau secara alami kelompok serigala adalah mesin pemburu yang sangat efektif, namun mereka juga pernah gagal. Tingkat kegagalan kelompok serigala dalam berburu mencapai 90 persen. Jadi, secara statistik hanya satu dari sepuluh kali upaya perburuan yang membuahkan hasil. Oleh sebab itu, keberhasilan adalah hal yang sangat menentukan mati hidupnya kelompok. Namun respons kelompok terhadap kegagalan-kegagalan yang terus mendera bukan berupa putus asa, kelesuan, kekalahan dan akhirnya menyerah. Serigala tidak menjadi frustasi atau jatuh ke dalam depresi seperti manusia. Mereka terus menerus berupaya, dan terus menerus menyempurnakan segala keterampilannya. Mereka percaya, sukses akhirnya akan datang juga.
Manusia sungguh perlu meniru serigala. Dalam hal stamina, ketekunan, dan motivasi diri yang tinggi. Seperti seorang bijak mengatakan:
Manusia seperti kaca jendela; kaca itu memantulkan cahaya seolah bersinar kala diterpa sinar matahari. Namun bila gelap datang, keindahan kaca hanya bisa tampak bila ada cahaya di dalamnya.

Selasa, 18 November 2008

Tiga Sikap Seorang Pengubah

Oleh : Paulus Bambang W.S.

“God grant me the SERENITY to accept the things I can not change, COURAGE to change the things I can and WISDOM to know the difference”.
Plakat yang berisi kalimat bijak tersebut terpampang di dekat meja kerja lebih dari sepuluh tahun. Pada bulan puasa ini, kalimat ini kembali menyentak saya. Tanpa sadar, sewaktu melewatkan waktu untuk bermeditasi siang hari di saat perut kosong, saya seakan-akan ditarik ke plakat yang berbentuk kitab suci tersebut. Kalimat itu seakan berkotbah pada saya. Inti kedamaian dari kegalauan hati adalah serenity, courage dan wisdom. Tiga sikap yang mesti selalu dimainkan dan ditimbang. Bagai seperangkat senjata yang tak harus diayunkan secara bersama. Kadang harus memilih yang satu dan melupakan yang lain. Tentunya, dengan kesadaran konsekuensi masing-masing.
Keinginan mengubah sesuatu di sekitar yang tak cocok dengan kata hati dan pikiran memang membuat hati galau dan gundah. Kenapa begitu dan bukan begini? Kenapa sulit menerima paradigma baru? Kenapa yang seharusnya didemosi malah selalu mendapat promosi? Kenapa yang bergaya preman malah jadi petinggi, sedangkan yang bergaya ulama hidupnya terseok ke belakang? Semakin bertanya, semakin hati ini tak nyaman karena jawaban makin jauh tersedia.

Karena berpuasa, siang itu saya punya waktu luang untuk membaca buku Joel Osteen yang jadi best seller di New York Times. Judulnya, Your Best Life Now. Pikiran saya kembali ditarik pada sebuah cerita yang tertulis di sana. Ini cerita lama yang sudah sering saya baca. Namun entah kenapa, siang itu, cerita ini menjadi bersinar. Sangat sejalan dengan tulisan di plakat tadi.

Begini ceritanya. Pada suatu malam yang sangat gelap pekat, seorang nakhoda kapal melihat ada sinar di depan yang seakan-akan muncul mendekat. Kepekatan malam dan awan membuat ia seolah-olah tak sempat bermanuver untuk menghindari tabrakan. Dengan sigap ia menggunakan radio untuk mengirim sinyal agar kapal tersebut berubah haluan 10 derajat ke timur.

Beberapa detik kemudian, ia mendapat pesan balik: ”Tak dapat saya lakukan. Ubahlah haluan Anda 10 derajat ke barat”, begitu pesan singkatnya. Kapten kapal tersebut menjadi sangat marah. Ia kembali mengirimkan pesan: ”Saya kapten Angkatan Laut, saya minta engkau yang mengubah haluan.” Ia mendapat pesan balik yang berbunyi: ”Saya hanya pelaut kelas dua, tak dapat lakukan itu. Ubah haluan Anda.”

Kapten menjadi curiga dan mengirimkan pesan terakhir: ”Saya berada di kapal perang dan saya tidak akan mengubah arah”. Tak lama kemudian ia mendapat pesan balik lagi: ”Saya berada di mercusuar. Tak mungkin saya mengubah arah. Terserah Anda Tuan.”

Saya tersenyum lepas. Saya juga seperti kapten yang sering bersitegang dengan mercusuar dan batu karang. Saya lelah karena berupaya tanpa hasil nyata. Benar kata pepatah, “Smart work is better than hard work”. Kadang sudah bekerja keras untuk mengubah, tapi tak ada hasil nyata. Kadang dengan upaya yang sedikit, perubahan datang deras bagai air bah. Ini bukan soal mistis. Akan tetapi, mengenali dengan hati terbuka apa yang ada di depan sana. Perubahan terbesar kadang bukan pada objek yang di depan, justru pada diri sendiri.

Ada tiga sikap yang perlu menjadi pertimbangan dalam menangani sebuah perubahan. Baik perubahan soal nilai hidup, pekerjaan, keluarga, ekonomi maupun bidang spiritual sekalipun.

Sikap pertama soal perubahan yang penting adalah serenity. Suatu sikap yang tenang, tenteram, dan berani menerima kenyataan bahwa banyak hal yang tidak mungkin kita bisa ubah, apalagi secara frontal dan instan. Budaya perusahaan yang sudah merasuk, praktik bisnis yang telah mendarah daging, konflik politik antarpemimpin yang kronis dan berbagai sistem prosedur yang sudah terkontaminasi pikiran dikorupsi adalah sedikit contoh sesuatu yang lebih kokoh dari mercusuar.

Serenity berarti berani berkontemplasi, mampukah melakukan perubahan. Kalau tidak, hanya ada dua pilihan. Menerima kenyataan itu dengan legowo, bukan lantas frustasi dan apatis. Namun langkah demi langkah, menundukkan sesuatu yang mudah dikalahkan. Memerlukan waktu tahunan untuk mengubah kultur yang sudah berusia satu generasi. Bukan berarti mustahil. Hanya butuh kesabaran untuk jadi pengubah. Bahkan kadang, hasilnya baru akan terlihat pada pemimpin selanjutnya. Setidaknya, Anda telah jadi penabur benih perubahan. Atau, mundur teratur dari gelanggang dan mencari tempat lain.

Sikap pengubah kedua adalah pada courage, semangat melakukan perubahan kala kemungkinan itu ada. Menggunakan otoritas yang ada untuk menegakkan kebenaran adalah mutlak. Untuk kasus yang satu ini, tidak ada kata lain selain bertempur sampai titik darah penghabisan. Kebenaran harus di atas kebaikan. Nilai-nilai hidup harus di atas kinerja bilangan. Ini harus dilawan tanpa kompromi sekalipun harus meletakkan jabatan. Berperang melawan prinsip adalah soal sikap hidup. Sebuah keberanian hakiki yang mutlak bagi yang menganut "principles driven leadership".

Sikap ketiga adalah pada aspek wisdom, kebijakan membedakan kapan memakai senjata serenity dan kapan mengayunkan courage. Wisdom bukan berarti kompromi dalam arti sempit. Wisdom adalah simbol kesadaran mutlak kapan mengalah dan kapan harus mengalahkan. Kapan harus marah dan kapan harus ramah. Ini hanya bisa dipupuk dengan knowledge dan knee. Knowledge berarti pengetahuan dan pengalaman. Dan, knee artinya banyak doa alias modal dengkul kepada sang Pencipta. Sikap inilah yang akan secara gamblang dan gampang mampu membuka mata hati kita apakah kita sedang menghadapi mercusuar, kapal musuh atau kapal rekan.

Artikel ini diambil dari Majalah SWA

Senin, 17 November 2008

Rencana Stratejik Pribadi

Perusahaan menyusun rencana. Para wirausaha (tidak semua) melakukannya juga. Banyak bisnismen sukses mempunyai suatu rencana stratejik untuk membantu mereka memperoleh ketajaman berpikir dan fokus.
Perusahaan punya ketajaman dan fokus. Kita secara pribadi pun juga perlu, bila ingin mencapai masa depan yang kita harapkan.
Sisihkan waktu beberapa jam bulan ini untuk membayangkan Masa Depan Anda 3 tahun ke depan.
Jangan memikirkan pada hal-hal kecil. Bawa imajinasi Anda menuju masa depan.
Tentukan enam atau tujuh aspek hidup pribadi yang amat penting Misalnya: :
Keluarga - Rohani - Perjalanan - Kesehatan - Sosial - Intelektual - Keuangan
Di tiap aspek ini, kembangkan jelas apa yang Anda mau capai. Apa yang mungkin, bagaimana yang Anda cita-citakan dalam aspek-aspek ini. Jelaskan sebaik-baiknya seperti apa itu dan bagaimana rasanya ketika Anda mencapai cita-cita di tiap bidang itu. Tuliskan seakan akan itu telah terjadi sekarang. Inilah gambaran masa depan Anda.
Bila Anda mampu menjelaskan masa depan yang Anda harapkan, pada setiap bidang yang penting tersebut, maka visi itu menjadi bagian dalam kehidupan Anda. Visi yang jelas itu membantu Anda menetapkan arah, memberikan motivasi, energi, motivasi, tujuan, dan arah. Hidup ini diisi oleh berbagai kesempatan, dan setiap kesempatan tidak akan terlewat begitu saja.
Banyak orang yang sibuk dengan tugas-tugas pribadi yang tidak tentu arah dan tujuannya. Ada kutipan abad pertengahan mengatakan "The mass of men lead lives of quiet desperation".
Banyak orang yang tidak seimbang hidupnya. Tujuannya cuma uang, uang dan uang, dan dia harus membayarnya dengan sakit kronis, perkawinan berantakan, tidak punya teman, tanpa pengembangan pribadi dan hobi. Semua bisnis dan bisnis dan bisnis.
Oleh sebab itu, dengan menetapkan dan mengejar rencana pribadi yang seimbang itu, Anda akan meningkatkan energi, motivasi, dan perasaan puas. Semua bersinergi pada keberhasilan hidup Anda. Dengan kata lain, kebahagiaan Anda. Itulah pilihan Anda.
It`s your choice to make. Most people are as happy as they choose to be.
Get busy developing that for yourself... Get a Life!!

Disadur dan dikembangkan dari tulisan Gary Lockwood, BizSuccess newsletter - http://www.bizsuccess.com/newsletter.htm

EngPerformance, Kunci Kinerja Organisasi

Oleh : William Werhane dan Christian Siboro

Belakangan ini, tekanan terhadap organisasi bisnis untuk meningkatkan kinerjanya amatlah tinggi. Kualitas produk dan layanan, kreativitas, efisiensi, dan aspek lain dalam memenangi persaingan merupakan hal yang terus dituntut untuk ditingkatkan.

Jika dicermati dengan seksama, sejatinya peningkatan kinerja organisasi sangat tergantung pada orang-orang dalam organisasi itu sendiri. SDM menjadi faktor paling signifikan dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Sebagai sumber kunci keunggulan kompetitif, maka engagement (keterlibatan) dan kinerja karyawan, dapat menjalankan atau menghancurkan setiap strategi organisasi. Di sinilah engaged performance (EP) menjadi penting. Pertanyaannya, bagaimana memahami faktor kunci yang mendorong sekaligus meningkatkan engagement? Dan apakah itu EP?

Banyak penelitian mendalam telah dilakukan Grup Hay untuk mengetahui kondisi yang dapat mendukung EP di tempat kerja. Hay mengartikan EP sebagai hasil yang dicapai dengan menstimulasi antusiasme karyawan terhadap pekerjaannya dan mengarahkannya pada kesuksesan organisasi. Dengan kata lain, karyawan yang sepenuhnya terlibat dengan apa yang mereka lakukan dan terhadap organisasi tempat bekerja, akan mengerahkan upaya ekstra (discretionary effort) untuk mencapai tujuan dan strategi organisasi.

Lalu, apa keuntungan riil memiliki karyawan yang engaged? Karyawan yang engaged akan tinggal tetap di organisasi dalam jangka waktu lebih lama, sehingga organisasi menghemat biaya yang berkaitan dengan turnover karyawan. Studi Hay menunjukkan biaya kehilangan karyawan dapat berkisar 0,5-2,5 kali total remunerasi dari seseorang tergantung pada tingkatan dan kompleksitas pekerjaannya. Namun, retensi saja tidaklah cukup bagi kesuksesan organisasi. Sebab, untuk apa tetap tinggal tanpa berkemauan memberi upaya ekstra?

Kalau begitu, apa saja faktor pendorong EP? Penelitian Hay menunjukkan ada tiga penggerak utama EP:
(1) Efektivitas organisasi dan kepemimpinan yang dipersepsikan;
(2) Dukungan yang diberikan kepada karyawan untuk memampukan mereka menjalankan peran pekerjaannya;
(3) Kewajaran dan keadilan perusahaan dalam pengembangan dan penghargaan karyawan.

Untuk masing-masing faktor tersebut ada sub-subfaktor sebagai penggeraknya. Yang patut dicatat, kepentingan relatif berbagai faktor di atas berbeda-beda antarorganisasi, bahkan antarunit dalam satu perusahaan. Pendorong EP karyawan riset dan pengembangan dapat berbeda dari bagian produksi. Maka, organisasi perlu melakukan asesmen secara reguler untuk mengetahui tingkat EP, baik di level organisasi maupun setiap unit kerja. Dari situ dapat diketahui faktor penggerak apa yang perlu difokuskan untuk meningkatkan engagement.

Lantas, apa implikasi EP bagi organisasi? Dari riset dan penggalian data Grup Hay diperoleh kesimpulan berikut:

Mengaitkan karyawan ke gambaran besar keseluruhan perusahaan. Hasil temuan Hay menunjukkan bahwa keyakinan karyawan terhadap kemampuan manajemen puncak perusahaan adalah indikator penentu paling penting dari EP dan turnover. Karyawan saat ini menyadari bahwa prospek mereka untuk kelangsungan bekerja, pengembangan karier, dan kemajuan sangat tergantung pada kesehatan dan kestabilan perusahaan. Dengan kian merasa harus menentukan karier sendiri, mereka tidak mau menggantungkan harapan masa depannya pada perusahaan, kecuali mereka yakin perusahaan dikelola dengan baik dan menuju arah yang benar.

Mengidentifikasi peluang pertumbuhan dan pengembangan.
Karyawan semakin menyadari bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab atas kariernya, dan masa depannya tergantung pada peningkatan keahlian masing-masing. Maka, peluang untuk tumbuh dan berkembang adalah faktor yang menjadi indikator penentu yang secara konsisten menentukan tingkat komitmen karyawan.

Memperkuat hubungan kepenyeliaan (supervisory).
Seorang penyelia berperan penting dalam menentukan jalur karier seseorang dalam organisasi. Melalui pendampingan (coaching) dan umpan balik kinerja yang reguler, penyelia dapat menolong karyawan mengidentifikasi kebutuhan pengembangan dan meningkatkan keahliannya. Penyelia juga sering berperan sebagai mentor yang membantu karyawan memahami tuntutan perusahaan dan mengembangkan dukungan yang diperlukan.

Mengelola kesan pertama.
Lebih mudah bagi karyawan prospektif memahami bagaimana mereka akan dihargai pada posisi yang baru dan apa yang akan diminta untuk dilakukan, ketimbang mengetahui bagaimana perasaan mereka bekerja di dalam organisasi. Akan tetapi, riset dengan jelas menunjukkan bahwa kesesuaian antara karyawan, budaya dan gaya pengelolaan perusahaan adalah salah satu faktor terbesar dalam menentukan akankah karyawan produktif dan tinggal tetap di perusahaan. Untuk meningkatkan kemungkinan kecocokan antara kedua hal itu, organisasi harus memberi gambaran yang realistis mengenai suatu pekerjaan kepada calon karyawan yang prospektif, termasuk sebanyak mungkin informasi tentang budaya dan nilai-nilai organisasi. Jadi, pada akhirnya, organisasi bisnis yang ingin maju – apa pun bentuk dan skala usahanya – harus mampu menciptakan karyawan yang engaged. Kecuali bila ingin terus jadi pecundang. Maka, organisasi perlu melakukan asesmen secara reguler untuk mengetahui tingkat EP, baik di level organisasi maupun setiap unit kerja.

Artikel ini diambil dari majalah SWA.

Melakukan Delegasi yang Efektif

Oleh: Meisia Chandra
Penulis adalah Pemimpin Redaksi PortalHR.com

Delegasi adalah salah satu kemampuan manajerial yang paling penting. Namun, pada praktiknya delegasi juga merupakan masalah yang paling sering dikeluhkan oleh para manajer.

Sering para manajer terjebak dalam pekerjaan rutin, sehingga lupa fungsi utama mereka, yakni membuat perencanaan, koordinasi, menganalisis, memotivasi dan lain-lain. Tak jarang juga para manajer malas melakukan delegasi dengan berbagai alasan. Padahal, akan lebih banyak yang bisa mereka lakukan seandainya mereka mendelegasikan sebagian pekerjaan yang sudah bisa didelegasikan kepada anggota tim.

Delegasi juga penting dalam perencanaan suksesi, pengembangan pribadi --juga dalam mencari dan mengusulkan promosi jabatan. Melalui delegasilah seseorang berkembang dalam suatu pekerjaan --delegasi membuat kita bisa menambah pengalaman baru untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar.

Sebelum Anda bisa melakukan delegasi dengan efektif, maka hilangkan terlebih dahulu asumsi berikut ini:

oSaya sendiri bisa melakukannya dengan lebih baik.

oSaya tidak tahu apakah saya bisa mempercayai dia untuk melakukan itu.

oDia tidak cukup baik untuk melakukan ini.

oDia tidak mau diberi tanggung jawab tambahan.

oSaya tidak punya waktu untuk menunjukkan cara melakukan ini.

oTidak ada staf yang bisa saya tugaskan untuk pekerjaan ini.

oDia sudah cukup sibuk dengan pekerjaannya.

oSaya tidak ingin menyerahkan tugas ini karena saya suka melakukannya.

oSaya satu-satunya orang yang tahu bagaimana melakukan ini.

oDia gagal melakukannya sebelum ini, jadi saya tidak akan memberi dia tugas apa-apa lagi.

Setelah semua asumsi di atas dapat Anda hilangkan, maka delegasikanlah pekerjaan yang bisa didelegasikan. Delegasi yang efektif diperlukan di mana pun dan siapa pun Anda, mulai dari menyuruh anak Anda membersihkan halaman sampai meminta manajer keuangan Anda mempersiapkan laporan tahunan.

Delegasi yang efektif berarti terbaginya beban kerja, dengan bonus tambahan mengembangkan kemampuan dan tanggung jawab kepada yang lain. Anda bisa memaksimalkan pembelajaran dengan menyisihkan waktu untuk merefleksikan pekerjaan begitu pekerjaan tersebut selesai --apa yang berhasil, apa yang gagal, dan apa yang dilakukan selanjutnya? Anda juga bisa mendapatkan masukan mengenai kemampuan delegasi Anda.

Konsultan dan trainer asal Singapura James Gwee, yang banyak berbicara dalam seminar dan memberikan training di Indonesia berpendapat, masalah utama dalam delegasi adalah para manajer sering terlalu detil. Dia memberikan tips agar dalam melakukan delegasi, cukup sebutkan hasil yang Anda inginkan. Tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai apa saja yang harus dilakukan. Biarlah karyawan sendiri yang menentukan langkah-langkah konkret. Yang penting, mereka sudah tahu hasil seperti apa yang harus mereka capai. Cara seperti itu akan merangsang kreativitas karyawan yang bersangkutan. Lebih dari itu, jika berhasil, mereka akan merasa sangat bangga dan sukses karena dapat mencapai target atau tujuan dengan langkah yang mereka susun sendiri.

Sebaliknya, jika Anda terlalu detail dalam menjelaskan setiap hal yang harus mereka lakukan, jika berhasil, mereka akan merasa “biasa-biasa saja” karena merasa bahwa hal itu adalah kesuksesan Anda, jadi tidak ada sense of achievement pada mereka. Repotnya, kalau mereka gagal, mereka akan langsung angkat tangan, bahkan menyalahkan Anda. Karena bagi mereka, kegagalan tersebut akibat dari langkah-langkah yang Anda arahkan.

Menarik juga menyimak pendapat Chairman DHL Indonesia Rudi J Pesik, yang dikemukakan dalam seminar ”Ideas From Giants” beberapa bulan yang lalu. Rudi mengungkapkan, selalu saja dalam melakukan delegasi, dia tidak pernah puas dengan apa yang dilakukan bawahannya. Tapi, biar bagaimana pun, dia harus melakukan delegasi agar dia dapat melakukan pekerjaan lain. Rudi juga menganggap, karyawan tidak akan melakukan sebaik yang dia lakukan. Karena itu, dia mempunyai kriteria, apabila karyawan sudah melakukan 70% saja sebaik dirinya, itu sudah bagus. Daripada dia memusingkan 30% kekurangan itu, lebih baik dia mencari tantangan-tantangan baru sehingga dirinya dan perusahaan lebih berkembang.

Artikel ini diambil dari PortalHR.com

Manajer Sukses vs Manajer Efektif

Oleh :Ir. Bambang Adi Subagio, M.M.

Mana yang lebih penting, menjadi manajer sukses atau menjadi manajer efektif? Jika dihadapkan pada pertanyaan ini mungkin Anda sedikit bingung. Apakah manajer efektif tidak otomatis menjadi manajer sukses? Bukankah seseorang manajer disebut sukses karena dia efektif? Nah sebelum ngelantur lebih jauh sebaiknya kita menyamakan bahasa terlebih dulu. Manajer sukses adalah manajer yang mempunyai indeks sukses di atas rata-rata manajer lainnya, di mana indeks sukses merupakan rasio antara tingkat manajerial yang berhasil dicapai dan masa kerja. Manajer efektif, di lain pihak, adalah manajer yang berhasil mencapai prestasi kerja tinggi dibanding dengan standar yang telah ditentukan, serta mampu melakukan pekerjaan melalui orang lain dengan tingkat kepuasan dan komitmen yang tinggi. Dalam kenyataan memang tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang manajer sukses sekaligus juga menjadi manajer efektif. Namun karakteristik kedua jenis manajer ini tetap dapat dibedakan.
Tahukah Anda tugas atau pekerjaan manajer pada umumnya? Jawaban yang paling populer mungkin adalah POAC (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling). Maka tidak heran apabila Anda juga menjawab demikian. Hal ini dapat dimengerti karena dalam kurun waktu yang cukup lama - sejak Henri Fayol mengemukakan pemikirannya yang sangat terkenal ‘The five Fayolian functions of management’ (Planning, Organizing, Commanding, Coordinating, dan Controlling) - para manajer sejagad meyakini (atau diyakinkan) bahwa tugas atau pekerjaan manajer hanya melakukan kelima fungsi manajemen tersebut. Namun berdasarkan penelitian beberapa pakar manajemen, di antaranya Henry Mintzberg, John Kotter dan Fred Luthans diperoleh gambaran yang lebih komprehensif bahwa tugas manajer sebenarnya tidak hanya melakukan kelima fungsi manajemen seperti yang dikemukakan oleh Fayol tersebut.
Mintzberg mengatakan bahwa pekerjaan manajer terdiri dari banyak pekerjaan pendek (brief) yang tidak selalu berkesinambungan (disconnected) dan mereka sering terlibat dalam hubungan dengan banyak orang, baik di dalam maupun di luar organisasi. Lebih jauh dikatakan pula bahwa manajer mempunyai banyak peran dan mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Dalam hal hubungan interpersonal, manajer berperan sebagai figur kepala, pemimpin dan penghubung. Dalam hal informasional mereka berperan sebagai pengawas, penyebar informasi dan juru bicara. Kemudian sebagai pengambil keputusan mereka berperan sebagai wirausaha, pemecah masalah, pengalokasi sumber daya, dan negosiator.
John Kotter dari Harvard Business School menambahkan bahwa pekerjaan manajer tidak hanya melulu melakukan ‘Fayolian functions’. Lebih dari itu para manajer menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, melalui pertemuan-pertemuan guna mendapatkan dan/atau memberi informasi, yang oleh Kotter disebut sebagai ‘membangun jejaring (networking)’. Melalui cara ini manajer dapat membuat ‘agenda’ sebagai hasil kompromi, serta sedikit melonggarkan kekakuan di antara mereka yang kadang-kadang terjadi karena masing-masing mempunyai sasaran berbeda.
Manajer Sukses vs Efektif : Empat Aktivitas Manajerial
Yang terakhir adalah penelitian oleh Fred Luthans dari University of Nebraska, Lincoln. Luthans mengelompokkan pekerjaan manajer dalam empat aktivitas manajerial sebagai berikut:
• Komunikasi, yaitu aktivitas yang meliputi pertukaran informasi secara rutin dan pemrosesan pekerjaan tulis-menulis.
• Manajemen tradisional, yaitu aktivitas yang terdiri dari perencanaan, pengambilan keputusan dan pengendalian.
• Manajemen sumber daya manusia, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan aspek perilaku, misalnya motivasi/pemberian dukungan, pendisiplinan/penghukuman, manajemen konflik, staffing, dan pelatihan/pengembangan.
• Jejaring (networking), yaitu aktivitas yang meliputi sosialisasi/berpolitik, berinteraksi de-ngan pihak luar, serta hal-hal ‘chit chat’ lainnya yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
Luthans dapat dikatakan menampilkan uraian tentang pekerjaan manajer yang paling lengkap dibanding Fayol, Mintzberg dan Kotter. Diskripsinya mencakup pendapat klasik dari Fayol (aktivitas manajemen tradisional), aktivitas komunikasi dari Mintzberg dan aktivitas jejaring dari Kotter. Tambahan dari Luthans yang cukup penting dan melengkapi adalah aktivitas manajer pada manajemen sumber daya manusia.
Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para manajer sukses dan manajer efektif, Luthans melakukan penelitian terhadap 248 manajer. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu dan tenaga mereka digunakan pada aktivitas komunikasi, sekitar sepertiga pada aktivitas manajemen tradisional, seperlima pada manajemen sumber daya manusia dan kurang-lebih seperlima pada aktivitas jejaring.
Selain melakukan penelitian secara umum tentang aktivitas manajer, Luthans juga melakukan penelitian secara khusus untuk mengamati apa yang dilakukan oleh kelompok manajer sukses dan juga apa yang dilakukan oleh kelompok manajer efektif. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut mempunyai pola aktivitas manajerial yang berbeda.
Pada kelompok manajer sukses, terlihat nyata bahwa mereka mengalokasikan waktu dan tenaga paling banyak pada aktivitas jejaring (48%). Selanjutnya aktivitas komunikasi berada di urutan kedua (28%), manajemen tradisional di urutan ketiga (13%) dan sumber daya manusia adalah aktivitas yang alokasi waktunya paling sedikit (11%). Hal ini menunjukkan bahwa - dengan menggunakan kecepatan promosi sebagai ukuran sukses - manajer sukses lebih banyak menggunakan sebagian besar waktu dan tenaga mereka untuk bersosialisasi, berpolitik, dan berinteraksi dengan pihak luar dibandingkan dengan rekannya yang kurang sukses. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa manajer sukses tidak banyak menggunakan waktu dan tenaganya pada aktivitas manajemen tradisional atau pada manajemen sumber daya manusia.
Pada kelompok manajer efektif, aktivitas yang mendapat perhatian paling besar adalah komunikasi (44%), kemudian manajemen sumber daya manusia (26%), selanjutnya manajemen tradisional (19%), dan yang terakhir jejaring (11%). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa kontribusi relatif terbesar bagi manajer efektif berasal dari aktivitas yang berorientasi pada aspek manusia, yaitu komunikasi dan manajemen sumber daya manusia. Dengan sendirinya berarti pula bahwa bagi manajer efektif, aktivitas yang berkaitan dengan pembinaan jejaring kurang diprioritaskan, sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh manajer sukses.
Uraian di atas barangkali dapat Anda gunakanan sebagai acuan, atau setidak-tidaknya inspirasi, untuk mengembangkan karir Anda di masa depan - mau menjadi manajer sukses atau manajer efektif. Kalau mau menjadi manajer sukses, perluaslah jejaring dan keterampilan berkomunikasi, sedangkan bila ingin menjadi manajer yang efektif, asahlah kemampuan komunikasi dan penguasaan akan manajemen sumber daya manusia.
Melalui tulisan ini mudah-mudahan Anda mendapat inspirasi dan dapat menarik manfaat untuk memilih apakah Anda akan menjadi manajer sukses atau efektif, atau bahkan keduanya - sukses sekaligus efektif.

Manajer yang Membuat Perubahan

Pada 2005 lalu, IBM Global Business Services melakukan survei bertajuk The Global Human Capital Study yang melibatkan lebih dari 300 organisasi di seluruh dunia –31% responden berasal dari kawasan Asia Pasifik. Survei juga diperkuat dengan wawancara terhadap lebih dari 100 Chief Human Resources Officer (CHRO).

Hasil survei tersebut mengkonfirmasikan bahwa sebagian besar organisasi menyadari, manusia dapat memberikan perbedaan kompetitif dan memiliki kemampuan untuk mentransformasikan potensi yang dimilikinya. Namun, agar dapat merespon pasar global yang terus berubah, diperlukan komitmen perusahaan tentang program dan layanan SDM yang menyegarkan, termasuk mentransformasikan peran para manajer.

Manajer memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kepuasan dan komitmen karyawan. Pemahaman ini merupakan dasar dari visi strategis yang lebih besar. Yakni, bagaimana manajer membantu karyawan memahami peran masing-masing, dan membuat mereka tetap terhubung dengan strategi perusahaan, merasa memiliki kemampuan, dihargai dan diperhatikan.

Cara yang baik untuk memulainya adalah memahami apa yang membentuk komitmen karyawan. Idealnya, para manajer harus mampu --dan diberi wewenang untuk-- mendorong faktor-faktor keberhasilan yang mempengaruhi iklim organisasi, yakni:

Kejelasan dan kepemimpinan: Para manajer dituntut untuk bisa membantu karyawan memahami strategi organisasi secara keseluruhan dan bagaimana pekerjaan mereka mempengaruhi keberhasilan perusahaan. Para manajer juga harus memastikan pimpinan senior mengambil tindakan yang perlu – berdasarkan umpan balik dari karyawan– untuk memastikan perusahaan tetap kompetitif.

Tantangan dan Kesempatan: Para manajer harus membantu mengidentifikasi atau memfasilitasi kesempatan bagi karyawan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan berkontribusi terhadap pekerjaan yang menantang, menarik dan berarti.

Pemberdayaan: Para manajer berkewajiban memberdayakan karyawan dalam kemampuan mengambil risiko yang memungkinkan inovasi perusahaan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk memutuskan, bagaimana pekerjaan mereka diselesaikan dan memastikan bahwa mereka memiliki alat-alat dan sumber daya yang dibutuhkan.

Hadiah dan Penghargaan: Para manajer harus menghargai karyawan berdasarkan performa, usaha dan keberhasilan mereka. Hal ini membantu karyawan memahami bahwa pekerjaan mereka mempengaruhi keberhasilan perusahaan.

Fleksibilitas Kerja: Para manajer perlu menyadari pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, serta memberi kesempatan kepada karyawan untuk memanfaatkan sarana yang mendukung hal itu. Dengan menciptakan fleksibilitas untuk menentukan bagaimana, kapan dan di mana mereka bekerja, karyawan akan merasa dapat mengendalikan situasi yang mereka hadapi, tidak terlalu stres dan pada akhirnya menjadi lebih produktif.

Praktik di IBM

Di perusahaan kami, misalnya, pada 2004 silam mengadakan IBM WorldJam, sebuah jam kolaboratif online yang memungkinkan karyawan IBM di seluruh dunia saling berkomunikasi, berkolaborasi dan membuahkan ide-ide yang dapat membuat IBM lebih baik. Hampir 60.000 IBMer melakukan jam tentang berbagai cara mempercepat pertumbuhan yang menguntungkan, meluncurkan inovasi dan merangsang produktivitas.

Beberapa ide muncul dari situ, yang paling populer terkait dengan kepemimpinan dan peran penting manajer dalam membentuk perusahaan. Namun, ide yang dinilai paling baik dari WorldJam2004 adalah tentang menciptakan cara yang konsisten dan sistematis bagi karyawan untuk memberikan umpan balik dan pendapat mereka tentang efektivitas manajer mereka. Para karyawan mengatakan, manajer memiliki peran penting sebab secara langsung mempengaruhi iklim, retensi dan hasil bisnis.

Mereka juga percaya, hubungan manajer-karyawan yang erat dan saling percaya akan membantu membuat nilai-nilai karyawan lebih nyata. Karyawan yakin, manajer membutuhkan bantuan konstruktif agar menjadi manajer yang (lebih) baik. Melalui mekanisme tahunan yang kini sudah memasuki tahun ketiga, karyawan diminta memberikan umpan balik tentang manajer mereka. Feedback ini diproses dan masing-masing manajer akan menerima laporan yang menunjukkan kekuatan dan kelemahan mereka dalam mengelola karyawan.

Perusahaan yang berinvestasi untuk mengembangkan talenta top dan manajer-manajer mereka akan memiliki keunggulan kompetitif yang dahsyat. Para manajer memiliki posisi yang unik dan penting untuk membuat karyawan menyenangi pekerjaan mereka. Kemampuan jajaran manajer untuk berbagi dan menghubungkan strategi perusahaan dengan tim-tim mereka berdampak langsung pada keberhasilan perusahaan. Sungguh pekerjaan yang berat, tapi kita harus mempercayai manajer kita mampu melakukannya sebaik mungkin.

Ditulis oleh Audrey Wardana
(Country Manager Human Resources, IBM Indonesia)
Artikel ini diambil dari www.portalhr.com

Delapan Cara Mengikat Karyawan

Eksekutif.com - Jakarta, Langkah-langkah sederhana yang dapat mengentalkan kesetiaan dan kerjasama di tempat kerja. Semua orang ingin merasakan mendapat pengakuan dan penghargaan di tempat kerja. Apapun pekerjaannya. Kata kuncinya di sini adalah merasakan. Memang, pekerjaan profosional seharusnya bisa mengatasi tendensinya untuk merasakan sesuatu (emosi) dan fokus pada bagaimana bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun, jika seseorang pimpinan bisa dipercaya dan disenangi oleh pegawainya, maka para pegawai itu akan memberi usaha yang lebih. Artinya, yang tak sekedar melaksanakan tugasnya. Merekapun bersedia untuk setia kepada perusahaan karena ikatan emosionalnya dengan pimpinan itu.

Untuk membangun perasaan seperti itu pada bawahan memang bukanlah urusan mudah. Diperlukan rapport (kedekatan hubungan) yang terbentuk dari proses komunikasi verbal maupun nonverbal, yang mana semua itu merupakan bagian dari sifat-sifat kepemimpinan. Kualitas dan keterampilan macam inilah yang menjadi prioritas bagi program pendidikan dan latihan banyak perusahaan. Sebab hasilnya adalah meningkatnya produktivitas. Dengan rapport itu seorang pimpinan menjadi semakin kredibel dan lebih mudah untuk dipercaya.

8 Cara guna membangun hubungan baik, kesetiaan, dan rapport ditempat kerja:
• Cara Berdiri: Perhatikan posisi dan cara berdiri Anda ketika sedang berbicara. Kaum pria condong berdiri berdampingan ketika sedang saling berbicara. Kaum wanita lebih senang saling berhadapan.
• Pusatkan Perhatian ke DIA: Tiap kali anda berbicara maka lampu sorot beralih dari dia (lawan bicara Anda) ke Anda sendiri. Jangan biarkan ini berlangsung lama.
• Jangan Menyentuh Diri Sendiri: Tangan jangan ke mana-mana kalau sedang berbicara. Jangan bermain-main dengan rambut Anda atau meraba-raba perhiasan atau asesori yang sedang Anda pakai.
• Senyumlah Selagi Berbicara: Memberi senyum selagi mendengarkan itu hal biasa.
• Ikuti Bahasa Tubuh Lawan Bicara: Jika dilakukan dengan alami dan hati-hati, mengikuti gerak-gerik lawan bicara termasuk cara efektif untuk berkomunikasi. Misalnya, jika mereka duduknya sambil bersender, maka Anda disarankan untuk juga menyender duduknya.

• Bicara 20% Mendengar 20 %: Biarkan lawan bicara Anda Berbicara mengenai dirinya sendiri....■

Artikel ini dikutip dari Eksekutif.com
Sumber: The Rules Have Changed: American Business Strategies in a Brave New World, Phyllis Davis, Entrepreneur Publications, 2002.